Chairman The Fed Jerome Powell menyebutkan kenaikan bunga ini adalah resep yang tepat untuk mendorong pertumbuhan dan likuiditas di AS.
Fed tetap melanjutkan rencana kenaikan meskipun Presiden AS Donald Trump mengritik keras kebijakan The Fed yang terus menaikkan bunga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kritik Trump Tak Mempan
Foto: Reuters
|
Sebagai chairman, Powell mengakui ada gejolak ekonomi yang terjadi di pasar keuangan negara berkembang. Menurut dia sentimen ini turut mempengaruhi bank sentral dalam mengambil kebijakan.
Mengutip CNBC.com, dalam pidatonya di pertemuan tahunan bank sentral, Powell percaya diri ekonomi AS akan membaik dan inflasi akan tetap terkendali.
Menurut dia, momentum pertumbuhan ekonomi harus tetap dilanjutkan. Karena itu kebijakan Fed saat ini tidak mengubah arah yang sudah dikeluarkan sejak 2005 lalu.
"Saya melihat kenaikkan bunga secara bertahap ini adalah langkah yang tepat. Dengan pertumbuhan yang kuat bisa lebih muda mencapai target," ujar Powell dikutip dari CNBC.com, Sabtu (25/8/2018).
Federal Open Market Commitee (FOMC) sudah menyetujui tujuh kali kenaikan bunga acuan sejak Desember 2015 lalu. Hingga paruh 2018 bunga acuan bank sentral AS sudah berada di posisi 2%. Tahun ini bank sentral menargetkan akan menaikkan bunga acuan hingga 4 kali.
The Fed Masih Dilema?
Foto: Lamhot Aritonang
|
"Sekarang ini AS mengalami dilema, dari sisi Jerome Powell dia ingin menaikkan suku bunga alasannya untuk melindungi penabung (savers)," kata Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony A Prasetiantono kepada detikFinance, Sabtu (25/8/2018).
Trump khawatir AS makin mengalami defisit perdagangan dengan China.
"China justru sekarang sudah enjoy dengan melemahnya yuan, ini kian merepotkan AS, makanya Trump tidak suka Powell menaikkan suku bunga," sambung Tony.
Menurut Tony suku bunga acuan The Fed diproyeksikan menjadi 3,25% pada tahun 2019. Saat ini, FFR (Fed Fund Rate) masih berada di level 2%, berarti masih perlu lima kali aksi kenaikan, di mana tahun ini dua kali, dan tahun depan tiga kali lagi dengan setiap kali naik sebesar 25 basis poin.
Rupiah Bakal Keok Lagi
Foto: Muhammad Ridho
|
Menurut Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira yang membuat nilai tukar rupiah lemah karena bakal ada pengalihan aset dari negara berkembang ke negeri Paman Sam.
"Imbas kenaikan Fed rate akan membuat aset berdenominasi dolar lebih menarik sehingga investor global mengalihkan aset dari negara berkembang ke AS," kata ekonom dari INDEF Bhima Yudhistira kepada detikFinance, Jakarta, Sabtu (25/8/2018).
Dia menjelaskan, capital reversal atau arus pembalikan modal yang rentan terjadi baik di pasar surat utang maupun saham mulai terjadi. Indikatornya mulai terlihat dari pelebaran yield spread antara US treasury bond dan SBN tenor 10 tahun.
"Dengan kondisi ini rupiah diperkirakan terdepresiasi hingga level Rp 14.800 pada akhir September 2018," jelas dia.
Naik di September dan Desember
Foto: Dok. Reuters
|
Tahun ini ditargetkan akan menaikkan bunga acuan hingga empat kali. Kira-kira Kapan The Fed menaikkan suku bunga?
Ekonom dari INDEF Bhima Yudhistira memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga pada September dan Desember 2018.
"Proyeksi Fed rate akan naik pada rapat FOMC bulan September dan Desember 2018," kata Bhima kepada detikFinance, Jakarta, Sabtu (25/8/2018).
Bhima mengatakan, kenaikan bunga acuan akan dilakukan masing-masing sebesar 25 basis poin (bps).
Sementara itu, Sementara itu, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony A Prasetiantono meramalkan bahwa FFR akan berada di level 3,25% pada tahun 2019.
"Masih perlu lima kali naik, tahun ini 2 kali lagi naik, dan tahun depan 3 kali lagi, setiap kali naik pasti 25 basis poin," kata Tony.