Buka-bukaan Sri Mulyani soal 'Nada Sumbang' IMF-WB Bali

Wawancara Menteri Keuangan

Buka-bukaan Sri Mulyani soal 'Nada Sumbang' IMF-WB Bali

Hendra Kusuma - detikFinance
Rabu, 10 Okt 2018 08:05 WIB
1.

Buka-bukaan Sri Mulyani soal 'Nada Sumbang' IMF-WB Bali

Buka-bukaan Sri Mulyani soal Nada Sumbang IMF-WB Bali
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Foto: Hendra Kusuma/detikFinance
Nusa Dua - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya buka-bukaan soal manfaat konkret dari acara pertemuan internasional IMF-World Bank (WB) di Bali. Hal ini dilakukan sekaligus menjawab tudingan miring alias nada-nada sumbang yang dilontarkan oleh banyak pihak, terutama oposisi pemerintah.

Indonesia terpilih sebagai tuan rumah karena keputusan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memenangkan proposal yang diajukan pemerintah Indonesia pada 2014 lalu. Indonesia terpilih usai bersaing dengan Senegal dan Mesir yang juga ikut mengajukan proposal untuk menjadi tuan rumah.

Keputusan Indonesia terpilih sebagai tuan rumah sidang tahunan IMF-WB 2018 pun keluar pada Oktober 2015. Sehingga ada waktu tiga tahun bagi pemerintah menyiapkan pertemuan kelas internasional ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Acara itu berlangsung sejak 8-14 Oktober 2018 di Nusa Dua Bali. Berdasarkan registrasi terakhir, acara ini akan dihadiri oleh sekitar 34.000 peserta yang memadati Bali.

Anggaran IMF-WB sesuai keputusan dewan perwakilan rakyat (DPR) dengan pemerintah sebesar Rp 855 miliar yang berasal dari APBN 2017 dan 2018 masing-masing sebesar Rp 45,41 miliar dan Rp 810,17 miliar.

Anggaran tersebut yang berasal dari Kementerian Keuangan (APBN) Rp 672,59 miliar, sisanya Rp 137 miliar dari Bank Indonesia (BI). Anggaran yang sudah terkontrak dari alokasi sebesar Rp 566 miliar, dan yang sudah dibayarkan sebesar Rp 192,1 miliar.

Dua bulan menjelang acara internasional itu berlangsung, Indonesia dilanda bencana alam yang besar, gempa di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng).

Banyak nada 'sumbang' yang dilontarkan kepada pemerintah terkait dengan keputusan yang menjadi tuan rumah IMF-WB di Bali. Nada 'sumbang' itu mulai dari anggaran yang besar lebih baik dialihkan untuk korban bencana, hingga acara ini tidak memberikan manfaat apa-apa untuk tanah air.

Namun, nada 'sumbang' itu pun langsung dijawab oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat berbincang dengan detikFinance di sela-sela gelaran IMF-WB 2018, Rabu (10/10/2018).

Bahkan, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga buka-bukaan terkait dengan aksi IMF yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang menjadi 3,7% pada tahun ini. Berikut petikan wawancaranya:

Pertemuan tahunan di Bali ini sebenarnya apa sih output yang diharapkan pemerintah ke depannya pemerintah khususnya bagi Indonesia?
Pertama tentu saja bahwa waktu Indonesia memutuskan untuk menjadi tuan rumah IMF-WB dan ikut di dalam proses dikonteskan atau diperbandingkan dengan negara lain, tentu waktu itu pemerintah Indonesia sudah meyakini bahwa menjadi tuan rumah memberikan hal yang positif.

Memang hal positif yang pertama sifatnya tidak dalam bentuk uang, tapi dari sisi image, mungkin waktu itu pada tahun 2014, waktu diajukan ekonomi Indonesia dalam kondisi cukup baik, kita sebagai negara G20, kita pernah menjadi tuan rumah APEC, jadi Indonesia ingin terlihat sebagai negara yang di lingkungan dunia sebagai negara emerging yang patut menajdi tuan rumah untuk event besar.

Jadi keuntungan pertama yang dibayangkan tentu saja pemerintah Indonesia yang menyampaikan proposal mengajukan diri sebagai tuan rumah adalah suatu manfaat yang sifatnya ada reputasi Indonesia, lebih kepada posisi Indonesia, lebih kepada bagaimana Indonesia sebagai suatu negara di dalam pergaulan Indonesia mampu untuk menjadi tuan rumah suatu event, dan itu bukan baru sama sekali, karena sebelumnya pernah menajdi tuan rumah UNFCC pada 2008, kita pernah menajdi tuan rumah WTO, jadi ini memupuk suatu reputasi negara kita menjadi negara well governance yang dikelola dengan baik, well manage yang di-manage dengan baik, untuk negara yang memiliki prestasi kita juga punya pengalaman yang bisa dibagikan kepada negara lain.

Namun, kalau masyarakat juga mengharapkan walau reputasi tapi ada aspek manfaat sifatnya ekonomi maupun finansial. Kalau dari ekonomi sudah disampaikan dalam beberapa kesempatan, untuk bisa membawa lebih dari 32.000 delegasi atau peserta di sini, di mana peserta inti 12.000 dari berbagai negara yang 189 negara, baik institusi, maupun mereka-mereka lembaga keuangan, itu memberikan dampak ekonomi di Bali paling tidak, yaitu selama dia tinggal di sini mereka akan membayar hotel sendiri, mereka membayar tiket sendiri, dan mungkin mereka akan membeli produk/barang di Indonesia.

Makanya kita lihat banyak display UMKM barang Indonesia yang selama ini saya menjadi Bank Dunia selalu memakai baju batik mereka selalu melihat bagus, jadi berbagai pengeluaran yang kemudian dihitung oleh Bappenas dan menggambarkan bahwa ekonomi Bali meningkat, dan itu ditaksir nilainya Rp Rp 1,1 triliun, Rp 1,2 triliun, Rp 1,5 triliun which is jauh lebih besar dari pengeluaran langsung yang dipakai untuk perhelatan ini sendiri.

Aspek lainnya adalah, seperti yang sudah dilakukan walaupun baru dua hari, banyak yang kemudian membuat Indonesia menyampaikan persoalan-persoalan pembangunan yang relevan untuk Indonesia namun relevan juga utuk banyak negara, contohnya karena sekarang kita menghadapi bencana alam.

Maka mengenai bagaimana penanganan suatu negara menangi bencana alam, kesiapannya, bagaimana emergency-nya, membersihkan berbagai macam reruntuhan dan kemudian menciptakan kembali kehidupan ekonomi masyarakat sosial yang normal kembali, dan itu suatu proses yang banyak negara menghadapi.

Di Latin Amerika ada 4 negara berkumpul bersatu untuk membentuk suatu instrumen keuangan bersama namanya katastropik insurance untuk pasific, itu terdiri dari Meksiko yang sering terjadi bencana alam dalam bentuk gempa bumi, Kolombia, Peru, dan Chile, itu di Latin Amerika mereka menghadapi risiko yang sama.

Di Maroko mereka membuat mengenai asuransi mengenai masalah hasil tanaman dan rumah, dan UMKM. Ini sesuatu hal baru yang kami dalam menjadi tuan rumah pada saat yang sama kami juga menyampaikan Indonesia menghadapi situasi seperti ini (bencana) loh, apakah ada negara yang bisa membantu, dan siapa institusi yang menjadi katalis.

Itu hal-hal yang menguntungkan atau bermanfaat untuk kita, makanya muncul ide kita bisa buat pooling fund, juga sama seperti yang dilakukan di Filipina terhadap provinsi areanya, saya akan mendiskusikan dengan industri asuransi dalam negeri bagaimana menciptakan satu asuransi perumahan dan UMKM speerti di Maroko.

Saya membayangkan dan sudah menyampaikan ke Bank Dunia yang membantu Meksiko, Kolobia, Peru, dan Chile untuk yang disebut asuransi bencana, bagaimana prosesnya, bagaimana meng-issues, bagaimana hubungannnya dengan lembaga-lembaga keuangan nasional, jadi ini hal-hal yang berguna.

Ada hal lain bahwa kita di dalam event ini BUMN kita menyampaikan list proyek yang mampu menarik investor dan dia disampaikan ketersediaan pemerintah menyampaikan dukungan, apakah dalam bentuk jaminan, apakah availability payment, banyak sekali proyek yang akan ditandatangani untuk menciptakan konfiden dan menjadi daya tarik investor.

Jadi bicara tentang manfaat banyak sekali, yang sifatnya intangible enggak bisa diraba namun real yaitu reputasi, nama baik, image, posisi Indonesia, kan sama seprti politik luar negeri saja banyak manfaatnya kalau politik luar negeri kita bagus, itu nggak tangible tapi dihargai di dunia, menteria keuangan bicara dan bisa membentu, itu semua intangible tapi real sebagai suatu kehormatan suatu negara.

Ada juga manfaat yang sifatnya tangible, seperti kita belajar, kita bisa men-develop instrumen menghadapi bencana yang sering terjadi di Indonesia, di mana infrastruktur bisa kita presentasikan sehingga investor bisa lebih familiar kenal dan mereka tahu policy yang mendukung itu, sehingga menarik lebih banyak capital inflow di Indonesia, apalagi banyak kasus sekarang ini.

Anda tadi menyinggung soal asuransi bencana, bisa diterapkan di Indonesia mulai kapan?
Kajian sudah kita lakukan, sedangkan seperti yang saya sampaikan APBN kan masih dibahas dengan DPR, jadi kalau asuransi itu bisa dimulai dari asuransi barang-barang milik pemerintah, dan itu sudah kita akan mulai, artinya kalau sampai terjadi seperti ini bencana alam seperti gempa bumi yang terjadi di Lombok dan Palu itu gedung milik pemerintah banyak yang retak, banyak yang tidak feasible untuk dipakai karena masalah safety, itukan harus kita hancurkan lalu bangun yang baru, itukan banyak biaya.

Kalau kita punya asuransi terhadap barang milik pemerintah semacam itu, paling tidak kita mampu melakukan perencanaan pembangunan kembali sevara cepat, karena tidak terkendala dengan anggaran kita.

Kita juga ingin 2019 memulai apa yang disebut pooling fund dulu, jadi antar daerah kita buatkan semacam dana bersama kalau sampai terjadi apa-apa nanti akan digunakan dana itu, di luar dana bencana. Pertama alokasi anggarannya saya sudah minta untuk dinegosiasikan dengan dewan untuk dimulai dulu dengan kecil, tahap kedua kita akan bicara dengan industri asuransi kita yaitu reasuransi karena itu biasanya kalau total loss itu sangat besar, jadi industri asuransi kita tidak kuat menangani itu.

klik selanjutnya untuk halaman berikutnya...

Proyeksi global turun, dampak ke Indonesia apa?
Dunia masuk 2018, risiko global makin lama makin besar, atau disebut downrisk-nya, ini lah yang menyebabkan kita perlu waspada dan ternyata IMF setelah 1 semester mereka merevisi di 2018, risiko ke bawah risiko itu terjadi.

Tadinya mereka bilang ada downside risk, risiko ke bawah dan sekarang terjadi dengan 3,9% menjadi 3,7%. Untuk emerging market akan mengalami pengaruh revisi ke bawah, entah melalui perdagangan internasional atau interest rate makin mahal atau capital flow dihadapi, pasti terpengaruh dan Indonesia tidak terkecuali

Pengaruh untuk Indonesia lebih kepada apanya?
Untuk Indonesia, pengaruh terlihat dengan interest rate meningkat dan respons BI menaikkan suku bunga, berhubungan kurs dan suku bunga internasional, maka biaya dari uang itu menjadi mahal, capital itu menjadi lebih mahal tidak semurah dan semudah sebelumnya.

Itu yang terkena pertama adalah investasi, karena investasi adalah biasanya pinjam uang untuk invest, kalau sekarang pinjamnya mahal dan investasi tidak menguntungkan lebih, maka nggak jadi minjem, maka investasi berkurang. Itu kita harus hati-hati karena investasi sebenarnya baru recover, tadinya pertumbuhan hanya 4-5%, sekarang sudah mulai 7-7,5%, kalau interest rate naikknya sangat cepat, bisa saja investasi tidak bisa naik terus dan tertahan.

Kedua, tentu saja impor, dengan kurs mahal dan interest ratenya tinggi dan investasi tertahan, maka impor menurun, tapi sebetulnya impor menurun dalam rangka menurunkan CAD itu bagus, tapi impor menurun sebagai tanda pertumbuhan melemah itu harus kita waspadai, ini ada beda fenomenanya.

Kita berharap ekspor menjadi lebih memiliki insentif. Jadi kalau ekspor bisa maju lebih cepat, bereaksi terhadap lingkungan dan kesempatan yang ada sekarang, ekspornya bisa naik, walaupun investasi tertahan, growth kita masih bisa naik. Tapi ekspor kalau nggak secepat kenaikan yang diharapkan maka bisa terjadi growth menjadi lebih lemah, IMF sudah menurunkan 5,1%, saya rasa itu masih dalam range seperti biasa waktu kita membahas dengan DPR, waktu itu, rangenya 5,17% sampai 5,3%, Jadi masih dalam range.

Tahun depan akan terjadi risiko seperti apa?
Kalau dilihat dari arah policy, kita lihat 2-3 hari kan kita ada pertemuan G20, IMFC, kita akan dengar secara langsung Powell (Gubernur The Fed) akan bicara, kita akan dengar Gubernur Sentral Eropa akan bicara, Mario Draghi, dan kita bicara dengan menteri keuangan dari negara-negara lain.

Mereka akan bicara, termasuk Tiongkok yang menurunkan reserve requirement-nya, berarti pengaruhnya kepada ekonomi tahun depan, akan seperti apa, kami masih menganggap, risiko yang berasal dari FED masih sangat ada, karena mereka menyampaikan akan tetap menaikkan suku bunga tahun depan.

Risiko dari trade war masih sangat real, bahkan mungkin ada eskalasi karena semakin politis, berarti ini akan menciptakan ketidakpastian terhadap ekspor, risiko terhadap kebijakan-kebijakan yangg sifatnya geopolitical yangg menimbulkan pengaruh ke komoditas, seperti Iran yang menaikkan harga minyak juga sangat ada. Jadi kita lihat untuk Indonesia, hal-hal yang diwaspadai, interest rate akan tetap naik dari sisi AS, perdagangan dunia masih sangat tidak pasti, berarti ekspor kita menjadi sesuatu yang harus kita perhatikan, meski kita terus memicu ekspor.

Ketiga, kita lihat geopolitik yang menyebabkan beberapa harga komoditas naik harganya, ini menuimbulkan risiko tahun depan, jadi tahun depan kita tetap 5,3%, tapi risiko terhadap tingkat pertumbuhan 5,3% itu makin meningkat, dan kita harus waspada terhadap itu.

Kalau risiko dari dalam negeri untuk 2019 bagaimana? Seperti fundamental dan politik mempengaruhi tidak?
Pasti kalau lihat dari sisi komposisi perekonomian kita, kalau kita tetap bisa menjaga inflasi cukup stabil, dan kepercayaan, maka kita tetap berharap, konsumsi tumbuh 5%, kalau kita lihat investasi, mungkin akan mengalami atau tertahan dengan inetrest rate yang naik, kita tetep berharap pertumbuhan 7-7,5% dalam hal ini.

Kalau belanja pemerintah dalam hal ini, walau defisit tahun depan bisa lebih rendah 1,8% dibandingkan 2,12%, saya rasa efek stimulusnya tetap positif, ada beberapa hal seperti Asian Games, Asian Para Games, IMF-WB, semuanya memberikan stimulus boosting. Tahun depan, itu pemilu di April, legislatif dan ekskutif, dua-duanya bisa menciptakan hal yang sifatnya positif, berdasarkan historis belanja meningkat.

Saya berharap tahun depan bisa jaga pertumbuhan ekonomi 5,3% meski tekanan ke bawah cukup real atau mungkin semester 1 akan lebih bumpy (bergejolak), tidak pasti karena adanya spill over dari kenaikan suku bunga AS, namun kuartal 2 atau semester 2 jauh lebih stabil.

Hide Ads