BI sendiri pada 15 November 2018 kemarin menaikkan BI 7 days reverse repo rate dari 5,75% menjadi 6%. Jika dihitung dari awal tahun BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 175%.
Lalu jika bulan depan The Fed menaikkan suku bunga acuan, apakah BI akan kembali menaikkan BI 7 days reverse repo rate?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dody menegaskan bahwa BI dalam mengambil keputusan moneter selalu berdasarkan data acuan. BI juga mempertimbangkan dampak ke depannya.
"Kita akan melihat forward looking bagaimana pertumbuhan ekonomi dan rupiah. Kita lihat global juga,. Kedua, prinsip pre-emptive head a curve," tambahnya.
BI sendiri saat menaikkan suku bunga acuan kemarin tidak mempertimbangkan kondisi inflasi seperti biasanya, tapi kondisi defisit neraca transaksi berjalan. BI menilai perlu menaikkan suku bunga acuan demi menarik dana asing masuk guna menyeimbangkan defisit neraca dagang.
Untuk bulan depan, kata Dody, BI akan kembali mempertimbangkan kondisi-kondisi yang ada. Jika kondisinya sama yang membuat BI harus menaikkan suku bunga acuan kemarin, maka tidak menutup kemungkinan suku bunga acuan kembali dinaikkan.
"Bulan depan kita buka assessment itu, tapi apakah akan menaikkan kita lihat nanti. Bisa saja nggak, karena cukup untuk bulan ini. Memang ambigu, saya nggak bilang tidak akan menaikkan atau menaikkan bulan depan," ujarnya.
Dody menerangkan, sejatinya mandat utama dari BI adalah menjaga kestabilan inflasi dan rupiah. Untuk inflasi sendiri BI percaya masih terjaga di level 3,2%.
Sementara untuk rupiah kini sudah mulai menguat. Namun masih ada ancaman jika defisit transaksi berjalan terus melebar.
"Kalau kestabilan terjaga tentunya kebijakan kita netral. Kalau seperti sekarang inflasi aman nilai tukar tidak aman, sekarang CAD dan nilai tukar tidak aman maka suku bunga disesuaikan. Tentunya ini berpengaruh pada sektor riil-nya," ujarnya.