Bank sentral memang telah diprediksi untuk menahan suku bunga acuan tersebut. Jika dilihat dari data BI, sudah 5 bulan suku bunga acuan ditahan di level 6%.
Berikut berita selengkapnya:
Dia mengungkapkan kebijakan suku bunga dan nilai tukar tetap difokuskan pada stabilitas eksternal.
Dari data BI disebutkan bank sentral sudah menahan bunga acuan di level 6% selama 5 bulan.
Bunga acuan 6% sudah ditetapkan sejak rapat dewan gubernur (RDG) 15 November 2018, kemudian 20 Desember 2018, 17 Januari 2019 dan 21 Februari 2019 serta hari ini 21 Maret 2019.
Perry menjelaskan dalam RDG dibahas pertumbuhan ekonomi global melambat disertai ketidakpastian pasar keuangan yang berkurang. Ekonomi AS tumbuh melambat dipengaruhi berkurangnya stimulus fiskal, menurunnya produktivitas tenaga kerja, dan melemahnya keyakinan pelaku usaha.
Pertumbuhan ekonomi Eropa diprakirakan makin melambat dipengaruhi oleh menurunnya ekspor akibat permintaan dari Tiongkok yang terbatas, melemahnya keyakinan usaha, dan berlanjutnya ketidakpastian penyelesaian masalah Brexit.
Ekonomi Tiongkok juga tumbuh melambat dipengaruhi tertundanya stimulus fiskal dan belum meredanya ketegangan hubungan dagang dengan AS. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, harga komoditas global, termasuk harga minyak dunia juga menurun.
"Respon normalisasi kebijakan moneter di negara maju cenderung tidak seketat perkiraan semula sehingga ketidakpastian pasar keuangan global berkurang. Perkembangan ekonomi dan keuangan global tersebut di satu sisi memberikan tantangan dalam mendorong ekspor, namun di sisi lain lebih positif bagi aliran masuk modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia," ujar dia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) tak menaikkan suku bunga, jadi BI melihat kebijakan tersebut.
"Lah Amerika juga nahan, kenapa kita harus ubah. Artinya gini, semuanya itu membaca situasi, kalau tidak diubah itu tidak memperburuk situasi, yaudah tidak diubah. Tapi kalau harus diubah ya kenapa, kenapa harus mengubah, harus dilihat," ujarnya di kantornya, Kamis (21/3/2019).
"Pertama harus dilihat biasanya Amerika dia naikkan apa nggak. Kalau nggak, tidak diubah," tambahnya.
Soal keputusan The Fed, Darmin tak mau berpendapat soal indikasi perekonomian global yang melambat. Meski demikian, itu menjadi tanda jika ekonomi AS tidak lebih bagus.
"Ya paling tidak ekonomi Amerika, jangan global dulu. Paling tidak ekonominya AS tidak lebih bagus," ujarnya.
Untuk diketahui, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, keputusan BI menahan suku bunga acuan salah satunya ialah menjaga stabilitas perekonomian.
"Keputusan tersebut konsisten dengan upaya memperkuat stabilitas eksternal perekonomian, khususnya untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman dan mempertahankan daya tarik aset keuangan domestik," kata Perry dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta.
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Ryan Kiryanto menjelaskan ada faktor eksternal dan internal dari prediksi penahanan suku bunga di level 6% tersebut.
Dari faktor eksternal, diyakini arah gerak fed fund rate (FFR) semakin longgar atau dovish dimana The Fed tidak lagi agresif menaikkan FFR mengingat sdh ada indikasi perlambatan pertumbuhan ekonomi AS di bawah 3% disertai laju inflasi mendekati 2%.
Pilihan The Fed ada dua, antara menahan FFR di level saat ini yg 2,25%-2,50% hingga akhir tahun 2019 atau menaikkan FFR hanya sekali sebesar 25 bps menjadi 2,5%-2,75% hingga akhir tahun 2019.
Bahkan ada yg menghendaki FFR turun 25 bps menjadi 2,0%-2,25% hingga akhir tahun 2019 untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi AS. Sejumlah bank sentral di dunia juga cenderung menahan suku bunga acuannya dan beberapa bank sentral malah sudah menurunkan suku bunga acuan (BOJ, ECB).
Dari faktor internal, BI dan pemerintah memiliki stance yg sama, yakni stability over growth, sehingga pilihan paling rasional dan taktis adalah RDG BI tetap menahan BI7DRRR di level 6%. Juga deposit facility dan lending facility di level yg tetap. Level bunga acuan yg 6% saat ini sesungguhnya sudah priced in atau factored in dimana level 6% ini sudah mempertimbangkan peluang FFR naik 25-50 bps di tahun 2019 ini.
"Langkah BI yg tahun 2018 lalu secara agresif menaikkan BI7DRRR sebesar 175 bps dari 4,25% ke 6% merupakan langkah preventive dan ahead the curve yg tepat mengiringi kenaikan FFR 100 bps saat itu sehingga jika RDG BI saat ini tidak menaikkan BI7DRRR alias tetap 6% adalah langkah tepat," ujar Ryan dalam keterangannya, Kamis (21/3/2019).
Menurut dia, keputusan ini bisa membantu penguatan daya tahan ekonomi Indonesia terhadap tekanan eksternal (trade war, risiko geopolitik dan Brexit), menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya rupiah, dan mempertahankan daya tarik investor asing untuk memegang aset dalam rupiah karena lebih atraktif. Juga membantu masuknya dana asing atau capital inflows yang dapat menguatkan kurs rupiah, IHSG di BEI serta memperkecil defisit transaksi berjalan (CAD) menjauhi 3% dari PDB. Momentum pertumbuhan pun masih bisa dikelola dgn baik.
"Ditahannya BI7DRRR akan disambut gembira kalangan perbankan, sektor riil dan investor portofolio karena level 6% ini dinilai akomodatif," jelas dia.
Kepala Riset LPEM FEB UI Febrio Kacaribu menjelaskan BI perlu mempertahankan suku bunga kebijakannya sampai upaya pemerintah untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan mulai terlihat dan menjanjikan.
"Di sisi positifnya, jika arus masuk modal portoflio terus berlangsung dengan kuat dan BI diproyeksi dapat mengumpulkan cadangan devisa yang memadai, kami memandang BI seharusnya memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga kebijakan sebanyak 50 bps nanti di tahun ini. Akan tetapi, untuk saat ini lebih tepat menunggu dan melihat perkembangan pasar sampai bulan depan," jelas Febrio.