Dari pihak BPJS Kesehatan sendiri melihat salah satu permasalahannya adalah besaran iuran yang belum sesuai dengan perhitungan aktuaria. Besaran iuran saat ini dirasa tidak sesuai dengan perhitungan biaya kesehatan aktual saat ini.
Kepala Humas BPJS M Iqbal Anas Ma'ruf mengakui memang saat ini kolektabilitas peserta masih rendah. Tapi andaikan kolektabilitas iuran mencapai 100% perhitungan mereka masih akan tetap terjadi defisit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Iqbal melanjutkan, pemerintah terakhir kali mengubah iuran peserta BPJS pada 2016. Perubahan itu ditetapkan melalui Perpres Nomor 19 Tahun 2016.
"Sebetulnya kita sudah menjalankan program ini sudah masuk tahun ke-6, artinya utilisasi data untuk membuat setting iuran dengan aktuaria sudah matang sebetulnya," tambahnya.
BPJS Kesehatan sendiri mencatat setiap tahunnya ada peningkatan pembiayaan. Pada 2017 jumlah pembiayaan mencapai Rp 84 triliun, lalu di 2018 naik menjadi Rp 94 triliun.
Peningkatan pembiayaan terjadi lantaran memang biaya kesehatan yang meningkat. Selain itu penambahan jumlah peserta juga berpengaruh. Apalagi tidak dibarengi dengan penyesuaian iuran.
"Untuk pembiayaan artinya angkanya tidak pernah turun. Karena peserta eksisting mengakses ditambah orang baru. Karena dari perhitungan iurannya juga belum memadai sesuai hitungan aktuaria," tuturnya.
Baca juga: BPJS Kesehatan Nunggak Rp 9,1 T, Kok Bisa? |
Menurut Iqbal angka iuran yang sesuai dengan perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang sesuai hanya premi peserta mandiri kelas 1 sebesar Rp 80 ribu. Sisanya menurut dia belum di bawah hitungan aktuaria.
"Contoh untuk kelas PBI saja dari aktuaria Rp 36 ribu, sekarang baru ditetapkan Rp 23 ribu. Kalau yang mandiri kelas 1 sesuai. Untuk kelas 2 sekarang Rp 50 ribu, itu harusnya Rp 63 ribu idealnya. Lalu untuk kelas 3 ditetapkan Rp 22.500, idealnya itu Rp 53 ribu," kata Iqbal
BPJS Kesehatan juga mencatat adanya defisit dari iuran terhadap biaya manfaat per jiwanya yang terus meningkat. Di 2016 terjadi defisit sekitar Rp 2.500 per jiwa, lalu di 2017 defisit Rp Rp 5.000 per jiwa dan 2018 defisit Rp 10 ribu per jiwa.
"Itu kan tinggal dikalikan saja dengan jumlah pesertanya. Ada margin selisih antara iuran per jiwa dengan biaya," tuturnya.
Selain masalah iuran yang belum sesuai dengan perhitungan aktuaria, BPJS Kesehatan juga merasa ada permasalahan dari sisi kolektabilitasnya. Menurutnya saat ini belum ada kebijakan dari pemerintah untuk menetapkan semacam sanksi untuk mendorong peserta tertib dalam membayar iuran.
"Kalau (iuran) enggak diubah malah tambah parah (defisitnya). Harusnya bisa didekatkan iuran diperbaiki. Biaya makin besar karena nambah peserta bukan berarti biaya berkurang. Iuran mungkin bertambah tapi biaya pelayanan justru naik," tutup Iqbal.