Keputusan tersebut mulai dari merelaksasi kredit properti dan kendaraan bermotor yang imbasnya uang muka jadi lebih ringan. Kemudian relaksasi rasio intermediasi makroprudensial.
Sayangnya, rencana penurunan uang muka untuk properti tersebut belum diiringi oleh penurunan suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan, padahal BI sudah menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 5,25%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak Mempan Dongkrak Daya Beli
Ilustrasi/Foto: Muhammad Ridho
|
Perlu diketahui, salah satu komponen pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi masyarakat yang dipicu dari daya beli. Lalu, apakah dengan diturunkannya uang muka ini daya beli masyarakat akan meningkat?
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan, meski uang muka diturunkan, daya beli masyarakat tetap atau tak meningkat. Mengingat, kebijakan penurunan uang muka ini masih diiringi oleh bunga kredit yang tinggi.
"Daya beli masyarakat akan tetap, relatif tetap," kata Piter kepada detikcom, Jumat (20/9/2019).
Ia menyebutkan, kebijakan BI lainnya yakni menurunkan suku bunga juga tak diiringi dengan penurunan bunga kredit. Oleh sebab itu, cicilan atau kredit yang dikeluarkan masyarakat justru menjadi lebih besar.
"Penurunan suku bunga acuan belum diikuti oleh turunnya suku bunga kredit. Sementara pelonggaran LTV atau penurunan besarnya DP, dengan suku bunga yang masih tinggi, untuk tenor yang sama justru menyebabkan cicilan menjadi lebih besar," terang Piter.
Kredit Properti Kelas Menengah Atas Diprediksi Membengkak
Ilustrasi/Foto: Fadhly Fauzi Rachman/detikFinance
|
"Saya memperkirakan pelonggaran LTV tidak akan serta merta memacu pertumbuhan kredit properti, khususnya kredit properti untuk kelompok menengah atas. Sedangkan untuk kendaraan roda dua sudah relatif jenuh. Kenaikan permintaannya tidak tinggi lagi sehingga berpengaruh ke permintaan kreditnya," papar dia.
Piter berpendapat, kebijakan menurunkan uang muka ini hanya untuk melonggarkan pembelian kredit, bukan untuk meningkatkan daya beli.
"Kebijakan LTV memang bukan untuk meningkatkan daya beli. Tapi melonggarkan pembelian kredit dengan DP yang lebih rendah," pungkasnya.
Bunga KPR Masih Tinggi
Foto: Tim Infografis, Luthfy Syahban
|
Sementara itu, berdasarkan data mortgage interest rate percentages di Asia, bunga KPR di Indonesia masuk jajaran tertinggi. Dengan rata-rata 12% Indonesia masuk peringkat ke-6. Sementara India hanya 9,45%, Vietnam 8,85%, Thailand 5,72%, Malaysia 4,53%, Singapura 2,5%.
Lalu, berapa suku bunga KPR bank-bank di Indonesia? Berikut sebagian daftarnya:
1. Bunga KPR di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) tercatat 9,98%.
2. Bunga KPR di PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) tercatat 10,75%.
3. Bunga KPR di PT Bank Mandiri Tbk (Bank Mandiri) tercatat 10,25%.
4. Bunga KPR di PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) 10,50%.
5. Bunga KPR di PT Bank Central Asia Tbk (BCA) 9,90%.
Bunga Kredit Juga Harus Turun
Foto: Agung Pambudhy
|
"Pertumbuhan kredit properti akan mulai melaju kencang ketika kelonggaran DP ini sudah diikuti juga dengan penurunan suku bunga kredit," imbuh Piter.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, kebijakan kelonggaran kredit ini akan efektif dalam tiga bulan. Maksudnya, perbankan akan menyesuaikan SBDK-nya seiring berjalannya waktu.
"Dengan kebijakan pelonggoran DP untuk kendaraan dan properti, akan disambut dengan penurunan suku bunga SBI (sertifikat BI) tersebut, sehingga akan mendorong sektor properti dan kendaraan tumbuh lebih baik. Ini akan efektif sekitar tiga bulan lagi ketika suku bunga perbankan turun," kata Tauhid kepada detikcom.
Namun, ia menyarankan, agar Himbara (himpunan bank negara), maupun bank lain dapat menurunkan suku bunganya dalam satu bulan ke depan.
"Kami juga menyarankan agar bank-bank pemerintah dan besar untuk cepat melakukan penurunan suku bunga dalam waktu satu bulan ini sehingga bisa diikuti bank-bank lain," pungkas Tauhid.