Kondisi perekonomian negara menjadi menjadi salah satu cukup memprihatinkan imbas pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak triwulan pertama tahun 2020, khususnya keuangan negara.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) pun mulai mempertimbangkan untuk mengeluarkan dekrit darurat untuk mengembalikan regulasi perbankan ke kewenangan bank sentral karena ketidakpuasan tentang kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama mengatasi dampak pandemi COVID-19.
Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) memberikan tanggapan terhadap wacana tersebut. Ia mengatakan bahwa dalam kondisi pandemi seperti ini memang kondisi bisnis jasa keuangan menghadapi situasi yang sulit.
"Kami melihat perlu adanya sense of crisis dari OJK, mengenai wacana yang muncul perlu ditanggapi secara seksama dan perlu kehati-hatian jangan sampai juga melahirkan masalah baru, namun saya juga menilai OJK perlu lebih berhati-hati dan mementingkan kepentingan nasional dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada," jelas Anggawira di Jakarta (6/7/2020)..
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awalnya kegiatan pengawasan perbankan nasional kan memang wewenang milik Bank Indonesia, kemudian baru diambil alih OJK setelah dikeluarkan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
OJK sendiri saat ini masih fokus dalam tugas restrukturisasi kredit dan pemulihan ekonomi nasional. Bersama dengan pemerintah (Kementerian Keuangan), Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam dalam ruang Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), OJK turut serta dalam kebijakan stimulus perekonomian nasional untuk menangani dampak COVID-19.
"Di situasi sulit saat ini kami rasa beberapa kebijakan OJK malah membuat menjadi agak kompleks. Seharusnya OJK dapat bertindak lebih sensitif, Apalagi biaya operasionalnya sendiri mengutip dari setoran lembaga keuangan yang mayoritas sedang mengalami krisis," tutup Anggawira.
Buka halaman selanjutnya>>>