Wacana redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah kembali digulirkan. Rencana pengurangan tiga angka nol di seperti Rp 1.000 menjadi Rp 1 ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024.
Dari regulasi tersebut, ada 19 Program Legislasi Nasional Jangka Menengah Tahun 2020-2024 yang akan menjadi fokus Kemenkeu, salah satunya RUU Redenominasi.
Redenominasi ini kerap kali disamakan dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang. Padahal, redenominasi dan sanering punya perbedaan yang cukup jauh. Menurut catatan detikcom, ada 3 perbedaan antara redenominasi dengan sanering yang perlu diketahui.
1. Perubahan Nilai Uang
Perbedaan ini yang sering membuat masyarakat salah kaprah. Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang yang dilakukan dengan mengurangi tingga angka nol pada rupiah. Misalnya, Rp 1.000 menjadi Rp 1. Meski disederhanakan, nilai uang Rp 1.000 akan tetap sama dengan Rp 1 jika sudah diredenominasi. Sebagai contoh, seseorang membeli permen seharga Rp 1.000. Sesudah redenominasi, orang tersebut masih bisa membeli permen itu dengan pecahan uang Rp 1 karena nilainya sama.
Sedangkan, sanering adalah pemotongan nilai uang, bahkan bisa separuhnya. Misalnya pecahan Rp 50.000, jika dilakukan sanering maka nilainya menjadi Rp 25.000. Sebagai contoh, ketika seseorang membeli 3 kg daging ayam Rp 50.000, maka setelah disanering orang itu hanya bisa membeli 1,5 kg daging ayam dengan pecahan Rp 50.000. Pasalnya, uang Rp 50.000 setelah disanering menjadi senilai Rp 25.000.
2. Kondisi Ekonomi
Penerapan redenominasi dengan sanering tentunya dilakukan dalam kondisi perekonomian yang berbeda. Redenominasi atau penyederhanaan ini biasanya dilakukan jika kondisi ekonomi sedang baik dan stabil. Seperti pertumbuhan yang baik, inflasi terkendali dan nilai tukar yang terjaga.
Sementara, sanering dilakukan karena ada gejolak pada perekonomian suatu negara, misalnya hiperinflasi. Pada tahun 1959, daya beli masyarakat Indonesia melambung terlalu tinggi yang akhirnya menyebabkan harga-harga ikut terkerek naik. Oleh karena itu, Presiden Soekarno melakukan pemotongan nilai uang atau sanering untuk memangkas daya beli yang teramat tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
3. Proses Penerapan
Redenominasi memerlukan waktu yang pancang mulai dari perencanaan hingga penerapannya. Pasalnya, ada 3 tahap yang diperlukan yakni persiapan atau sosialisasi, masa transisi dari mata uang yang memiliki 3 angka nol di belakangnya menuju mata uang yang sudah disederhanakan, serta masa penarikan yang terbitan lama. Menurut Bank Indonesia (BI), butuh waktu 7-8 tahun untuk menerapkan redenominasi di Indonesia.
Sedangkan, sanering pada umumnya dilakukan secara mendadak dalam kondisi perekonomian yang mendesak. Dalam catatan sejarah, pemerintah Indonesia pernah melakukan sanering sebanyak 3 kali, yakni pada tahun 1950, 1959, dan 1965. Pada tahun 1965 itu, penerapan sanering yang mendadak dan kurangnya sosialisasi menyebabkan krisis ekonomi dan kerusuhan masyarakat.
(dna/dna)