Isu tentang wacana pengembalian wewenang pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Bank Indonesia (BI) semakin santer terdengar. Wacana itu kabarnya merupakan bagian dari rencana reformasi sektor keuangan yang tengah bergulir.
Di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sendiri, melalui Badan Legislasi (Baleg) tengah bergulir pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Lalu apa kata OJK?
Staf Ahli OJK, Ryan Kiryanto mengatakan, jika peran pengawasan jasa keuangan dipisah maka ada kemungkinan tidak terjadinya koordinasi yang baik. Apalagi jika berbicara mengenai lembaga keuangan yang sifatnya konglomerasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekiranya pengawasan sektor keuangan yang sifatnya konglomerasi, maka mungkin potensi miss komunikasi, miskoordinasi, bahkan disharmonisasi itu berpotensi terjadi," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (2/9/2020).
Ryan menjelaskan, salah satu alasan berdirinya OJK adalah kejadian-kejadian krisis yang terjadi sebelumnya seperti di 2008. Kondisi itu menimbulkan keputusan bahwa perlu adanya pengawasan jasa keuangan yang bersifat terintegrasi.
"Pengawasan jasa keuangan yang sifatnya terintegrasi, jadi ini yang dimiliki OJK. Sehingga sejak berdirinya OJK kita bisa melihat kondisi sistem keuangan di Indonesia masih bisa dijaga dengan baik," tambahnya.
Ketika dimintai tanggapannya mengenai Revisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI), Ryan enggan menanggapi karena dianggap ranah politik.
"Kami memandang bahwa itu domain politik, jadi kita tidak masuk ke ranah sana. Kita masuk ke zona pengawasan terintegrasi. Bagi OJK tentu sampai hari ini kita masih solid menjalankan tupoksi kita," tutupnya.
(das/zlf)