BPJS Ketenagakerjaan atau Jamsostek mencatatkan hasil investasi sebesar Rp 32,30 triliun selama tahun 2020. Kegiatan investasi Jamsostek dilaksanakan berdasarkan PP No. 99 tahun 2013 dan PP No. 55 tahun 2015, yang mengatur jenis instrumen-instrumen investasi yang diperbolehkan berikut dengan batasan-batasannya.
Ada juga Peraturan OJK Nomor 1 tahun 2016 yang juga mengharuskan penempatan pada Surat Berharga Negara sebesar minimal 50%.
"Untuk alokasi dana investasi, BP Jamsostek menempatkan sebesar 64% pada surat utang, 17% saham, 10% deposito, 8% reksadana, dan investasi langsung sebesar 1%"," kata Direktur Utama BP Jamsostek, Agus Susanto dalam keterangan resminya yang dikutip, Senin (18/1/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agus mengatakan, hasil investasi yang sebesar Rp 32,30 triliun ini dengan Yield on Investment (YOI) yang didapat sebesar 7,38%. Dana dan hasil Investasi tersebut mengalami pertumbuhan masing masing sebesar 12,59% dan 10,85% dibandingkan tahun akhir 2019.
Selain itu, dikatakan Agus, BP Jamsostek juga berhasil membukukan penerimaan iuran (unaudited) sebesar Rp 73,31 triliun selama tahun 2020. Angka ini terbilang masih tinggi mengingat adanya implementasi PP Nomor 49 Tahun 2020 tentang relaksasi iuran Program JKK, JK sebesar 99% dan penangguhan Program JP sebesar 99%. Iuran tersebut ditambah pengelolaan investasi berkontribusi pada peningkatan dana kelolaan mencapai Rp 486,38 triliun pada akhir Desember 2020.
Selama masa pandemi, Agus menjelaskan pengelolaan dana investasi mendapatkan tantangan yang cukup berat, mengingat dampak pandemi COVID-19 dirasakan oleh seluruh bidang usaha di dalam negeri. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang pada awal tahun 2020 dibuka melemah, bahkan sempat terseok ke level 3000-an pasca ditetapkannya COVID-19 sebagai pandemi global.
"Kondisi pandemi termasuk pasar investasi global dan regional tentunya memiliki pengaruh pada hasil investasi yang diraih oleh industri jasa keuangan pada tahun 2020. Tapi kami telah mengalihkan mayoritas portofolio pada instrumen fixed income hingga mencapai 74% dari total portofolio, sehingga tidak berpengaruh langsung dengan fluktuasi IHSG", jelasnya.
Agus mencontohkan pada investasi saham, mayoritas penempatan atau 98% penempatan dana dilakukan pada saham kategori Blue Chip atau LQ45. Meski demikian, penempatan pada saham non LQ45 juga tetap dilakukan dengan menerapkan protokol investasi yang ketat. Jumlah saham non LQ45 tersebut hanya sekitar 2% besarannya dari total portofolio saham BP Jamsostek.
"Untuk saham, BP Jamsostek hanya berinvestasi pada emiten BUMN, emiten dengan saham yang mudah diperjualbelikan, berkapitalisasi besar, memiliki likuiditas yang baik dan memberikan deviden secara periodik. Tentunya faktor analisa fundamental dan review risiko menjadi pertimbangan utama dalam melakukan seleksi emiten. Jadi, tidak ada investasi pada saham-saham gorengan," katanya.
Dirinya menambahkan, untuk lebih memaksimalkan hasil kelolaan investasi, BPJS Ketenagakerjaan juga mengurangi broker fee atau biaya transaksi penempatan dana dengan manajer investasi.
Agus juga menjelaskan dengan kinerja pengelolaan dana di atas, sebagai Badan Hukum Publik yang bersifat nirlaba, seluruh hasil pengelolaan dana dikembalikan kepada peserta, sehingga BPJS Ketenagakerjaan dapat memberikan hasil pengembangan Jaminan Hari Tua (JHT) kepada pesertanya mencapai 5,63%, yang tentunya selalu di atas rata-rata bunga deposito bank pemerintah yang pada tahun 2020 ini sebesar 3,87%.
Dari tahun 2016 hingga 2020, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan tumbuh mencapai 2 kali lipat dengan CAGR sebesar 18,74%, hingga mencapai Rp 486,38 triliun. Padahal sejak tahun 1977 hingga 2015, dana kelolaan Jamsostek berada pada angka Rp 206,58 triliun. Hal ini jelas membuktikan kinerja BP Jamsostek dalam meningkatkan kepesertaan dan mengelola dana investasi sangat baik dengan peningkatan signifikan dari dana kelolaan yang diperoleh.
Peningkatan dana kelolaan investasinya ini juga tentunya tidak lepas dari protokol penempatan dana yang dimiliki manajemen yang sangat ketat. Jika dilihat dari aturan yang dimiliki, sangat kecil kemungkinan penempatan dana investasi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu.
Contohnya, kata Agus, pada aturan penempatan dana, kapitalisasi pasar dari emiten yang dituju minimal Rp 3 triliun. Contoh lainnya seperti rerata nilai transaksi saham yang akan dibeli minimal Rp 20 miliar. Protokol ketat dalam mengatur penempatan dana investasi ini yang menjadi rahasia manajemen agar tetap mendapatkan hasil investasi yang selalu meningkat, untuk kepentingan seluruh peserta BPJamsostek.
Untuk kinerja kepesertaan BPJS Jamsostek, total 50,72 juta pekerja telah terdaftar sebagai peserta hingga akhir Desember 2020. Hasil ini merupakan pencapaian yang positif untuk mengakhiri tahun 2020, meski dengan kondisi pandemi COVID-19 yang juga tidak kalah menantang bagi peningkatan kepesertaan. Sementara dari sisi perusahaan peserta atau pemberi kerja, pada periode yang sama capaian yang diraih sebesar 683,7 ribu perusahaan.
Tidak hanya itu, dikatakan Agus, melalui program Penggerak Jaminan Sosial Indonesia (PERISAI), BPJS Ketenagakerjaan juga mendorong kepesertaan pekerja Bukan Penerima Upah (BPU) dan Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM).
Terhitung sejak 2017 sampai dengan akhir Desember 2020, PERISAI ini telah berkontribusi positif terhadap kepesertaan sebesar 1,6 juta peserta dengan total iuran Rp 364,2 miliar yang dilakukan oleh 4.694 PERISAI aktif yang tersebar di seluruh Indonesia. Sementara untuk perlindungan kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI), terhitung Desember 2020, sebanyak 376,6 ribu PMI telah terlindungi oleh program BPJS Ketenagakerjaan dengan nilai iuran mencapai Rp 31,9 miliar.
"Walaupun banyak terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) akibat berkurangnya pendapatan usaha sebagai dampak dari pandemi COVID-19, BP Jamsostek tetap dapat melakukan akuisisi peserta sebanyak 17,4 juta untuk tahun 2020," kata dia.
Meski demikian, dirinya mengaku lonjakan klaim JHT imbas dari PHK tidak bisa dihindari, yaitu sebesar 15,22% atau sebanyak 2,2 juta pengajuan klaim JHT pada tahun 2019 dengan nominal yang juga melonjak 24,25% atau sebesar Rp 26,64 Triliun.
Sepanjang tahun 2020, pembayaran klaim atau jaminan yang dikucurkan mengalami peningkatan sebesar 20,01% atau mencapai Rp 36,5 triliun. Dengan rincian klaim untuk JHT mencapai Rp 33,1 triliun untuk 2,5 juta kasus, JKM sebanyak 34,7 ribu kasus dengan nominal sebesar Rp 1,35 triliun, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebanyak 221,7 ribu kasus dengan nominal sebesar Rp 1,55 triliun, dan Jaminan Pensiun (JP) sebanyak 97,5 ribu kasus dengan nominal sebesar Rp 489,47 miliar.
(dna/dna)