Bahaya Mengintai di Balik Fenomena Simpanan Bank Orang RI Membengkak

Bahaya Mengintai di Balik Fenomena Simpanan Bank Orang RI Membengkak

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Kamis, 05 Agu 2021 06:30 WIB
Man Using euro money to invest in a new small business
Foto: Getty Images/iStockphoto/AlexSava
Jakarta -

Dana masyarakat di bank makin bengkak imbas dari pandemi COVID-19. Di sisi lain, roda ekonomi juga melambat dan membuat dana itu jadi sulit disalurkan kembali oleh bank dalam bentuk kredit. Hal ini menjadi salah satu bahaya dari fenomena bengkaknya simpanan di bank.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menjelaskan, bengkaknya dana tabungan masyarakat di perbankan itu tentu karena pembatasan aktivitas masyarakat. Selain masyarakat tak bisa mengeluarkan uangnya untuk kegiatan hiburan, mereka juga takut menghamburkan uangnya.

"Kita mempunyai keterbatasan untuk berbelanja, apapun yang melakukan kegiatan fisik, terutama kegiatan leisure seperti yang kita lakukan bersama keluarga. Sehingga masyarakat yang pendapatannya tetap tidak dapat membelanjakan, sehingga tabungannya pasti meningkat," papar Wimboh dalam Virtual Opening Like It (Literasi Keuangan Indonesia Terdepan), Selasa (3/8/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia juga yakin dana masyarakat di perbankan juga bertambah seiring dengan kucuran insentif yang diberikan pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Tahun lalu anggaran PEN mencapai Rp 695 triliun dan tahun ini Rp 744 triliun.

"Luar biasa, ini pasti menambah uang beredar di masyarakat dan juga menambah dana masyarakat di perbankan. Untuk itu tidak heran dana di perbankan melimpah, pertumbuhannya year on year di Juli kemarin 11,28 %. Sebelum COVID pertumbuhan dana masyarakat itu hanya 6-7%," jelas Wimboh.

ADVERTISEMENT

Nah masalahnya adalah, ketika likuiditas di bank berlimpah seperti sekarang ini maka akan mempengaruhi suku bunga simpanan yang terus menurun. Wimboh menjelaskan biasanya suku bunga deposito berjangka 1 tahun sekitar 7%, namun sekarang hanya 5%, bahkan ada yang di bawah 4%.

Tentu dengan jumlah uang yang meningkat tapi suku bunganya turun, masyarakat akan mencari alternatif instrumen lain bukan cuma simpanan saja untuk mencari tingkat keuntungan yang menarik. Alhasil tawaran instrumen investasi belakangan ini semakin berlimpah.

Permasalahannya tawaran investasi itu bukan hanya datang dari dunia pasar modal, tapi juga dari luar pasar modal. Jenis produknya pun bermacam-macam. Bahayanya produk-produk investasi yang tidak jelas itu menawarkan imbal hasil yang sangat tinggi, diiringi dengan risiko yang tinggi pula. Ada juga yang ternyata bodong.

"Kita juga tidak tahu itu instrumen apa, terutama yang di masyarakat yang tidak melalui pasar modal bisa menawarkan suku bunga yang sangat tinggi. Bahkan aset-aset lain termasuk aset kripto beberapa advisor menawarkan return yang tinggi. Ini masyarakat harus paham dan hati-hati jangan sampai hanya tertarik pendapat yang tinggi," ungkap Wimboh.

Memang ada sisi baiknya juga, jumlah investor di pasar modal meningkat signifikan. Saat ini investor pasar modal sudah berjumlah 5,6 juta, angka itu naik 44% dari posisi akhir tahun lalu.

Namun bukan berarti peningkatan jumlah investor itu tidak mengandung risiko. Wimboh mengatakan, seiring dengan peningkatan jumlah investor secara drastis maka muncul risiko volatilitas yang tinggi dan memicu gelombang spekulasi yang tinggi. Semua itu karena ketidakseimbangan antara supply and demand.

"Bahwa kalau supply dan demand di pasar modal tidak balance menimbulkan bubble dan bisa menimbulkan volatilitas harga di pasar modal dan sangat potensi menimbulkan spekulasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab," papar Wimboh.

Jika itu terjadi maka bisa saja pasar modal Indonesia mengalami bubble. Ujungnya banyak investor anyar yang baru masuk di masa pandemi ini menjadi korban.

"Untuk itu kami sangat konsen terhadap itu, harus berupaya pendalaman pasar keuangan dan memberikan edukasi dan literasi kepada masyarakat. Kita melibatkan SRO tujuannya mencegah terjadinya market confuse atau terjadi spekulasi yang berlebihan. Ini berbahaya dan menimbulkan kerugian di masa depan," kata Wimboh.

Simak juga video 'Menkeu: Sangat Sulit Pulihkan Ekonomi Sebelum Credit Growth Juga Pulih':

[Gambas:Video 20detik]



(hal/dna)

Hide Ads