Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 7,07% pada kuartal II di tengah kondisi pandemi COVID-19. Hal ini sesuai dengan apa target Presiden Joko Widodo.
Sejumlah kebijakan, program dan langkah-langkah dilakukan demi menggenjot ekonomi di tengah pandemi, beriringan dengan langkah pemerintah memenuhi aspek kesehatan masyarakat.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, OJK berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, Dalam pertemuan dengan wartawan media massa secara virtual, Minggu (8/8/2021), Wimboh buka-bukaan mengenai pertumbuhan ekonomi, kondisi perbankan RI hingga langkah dan kebijakan yang diambil OJK di tengah pandemi.
Berikut selengkapnya:
Perbankan nasional, termasuk BPD, harus jeli dan cermat menganalisis dinamika ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah operasionalnya masing-masing. Di samping langkah-langkah efisiensi operasional harus terus dilakukan, utamanya melalui transformasi digitalisasi perbankan, tetap saja sumber pendapatan bank adalah dari pendapatan bunga kredit. Untuk itu, fungsi intermediasi secara individual bank bisa dilakukan di daerah-daerah yang menunjukkan pertumbuhan regional (PDRB) yang positif.
Mengacu pada data BPS terkini, PDB pulau Jawa mampu tumbuh 7,88% (di atas PDB nasional yang 7,07%) bisa dijadikan tumpuan penyaluran kredit untuk semua jenis penggunaan. Hal yang sama juga bisa dilakukan di Sulawesi yang PDB-nya tumbuh 8,51%; Maluku dan Papua 8,75%; dan Sumatera 5,27%. Masing-masing wilayah ini memiliki keunggulan atau karakteristik perekonomian sehingga perbankan bisa menyalurkan kreditnya di sektor-sektor ekonomi unggulan di masing-masing daerah supaya kreditnya tetap lancar.
Sebagai contoh: Jawa unggul di bidang industri pengolahan. Sumatera unggul hasil pertanian/perkebunan/ kehutanan. Kalimantan unggul dengan hasil pertambangan dan kehutanan (perkayuan). Maluku dan Papua unggul dengan perikanan. Sulawesi unggul dengan hasil pertambangan (Nikel/Feronikel di Morowali, Kendari) dan perikanan. Bali dan Nusa Tenggara sudah tumbuh positif 3,7% (jauh di bawah PDB nasional yang 7,07%) sehingga restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 masih menjadi tugas utama perbankan di daerah ini.
Dengan adanya PPKM Level 3 dan 4 di Juli dan Agustus ini, kemungkinan akan memberi tekanan kepada sektor riil yang berdampak pada permintaan kredit di kuartal II-2021. Kami meyakini, dengan menurunnya angka kasus positif harian diikuti pelonggaran PPKM secara bertahap, maka permintaan kredit akan meningkat kembali seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat dan pembukaan kembali berbagai aktivitas ekonomi.
Ini yang menyebabkan DPK perbankan "terkesan" meningkat tajam dibandingkan peningkatan kredit di masa pandemi, karena sebenarnya pemilik dana tidak menggunakan dananya secara normal sebagaimana di masa sebelum pandemi. pada saat yang sama, Bank Indonesia melonggarkan kebijakan moneternya dengan menurunkan rasio GWM rupiah sehingga menambah likuiditas yang sangat longgar di perbankan, tercermin pada rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang tinggi, yakni 32,95%. Bagi perbankan, kondisi likuiditas yang amat longgar harus diproduktifkan dengan strategi yield enhancement melalui penempatan ekses likuiditas di instrumen investasi yang memberikan yield positif dan risiko termitigasi. Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah (Kemenkeu) menjadi instrumen paling tepat sehingga bank dapat menikmati pendapatan dari yield SBN sekaligus bank memainkan peran intermediasi secara tidak langsung. Bagi bank publik, pemegang saham dan investor menilai manajemen bank mampu mengelola going concern mereka terkait profitabilitas bank karena bagaimana pun bank dituntut mampu membukukan earnings atau laba yang baik.
Indonesia telah resmi keluar dari jeratan resesi ekonomi usai meraih pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 yang sebesar 7,07% secara tahunan. Mengenai hal tersebut, bagaimana OJK memaknai pencapaian tersebut dan memandang prospek pertumbuhan ekonomi pada sisa 2021?
• Momentum penguatan kinerja ekonomi global dan kebijakan countercyclical Pemerintah serta kebijakan moneter dan sektor keuangan yang akomodatif telah mampu mendorong berlanjutnya arah pemulihan ekonomi nasional.
• Capaian PDB TW II-2021 (7,07% yoy) merupakan sinyal positif perbaikan ekonomi yang disambut baik pasar dengan meningkatnya IHSG level 6.205,42 pada penutupan pasar hari tersebut (5 Agustus 2021).
• Pertumbuhan pada triwulan II-2021, didorong oleh belanja pemerintah dan konsumsi Rumah Tangga seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat pada triwulan tersebut.
• Realisasi belanja negara yang tumbuh relatif tinggi (9,38%, yoy) pada semester I 2021, baik dalam bentuk belanja barang, program bansos, maupun belanja modal memberikan dorongan yang cukup signifikan pada komponen PDB dari sisi pengeluaran. Hal ini mendorong peningkatan konsumsi pemerintah sebesar 8,06% (yoy).
• Konsumsi masyarakat, yang mencakup sekitar 55% dari total PDB, mampu tumbuh 5,93%. Selain faktor base effect momentum Ramadan dan hari raya Idul Fitri, berbagai kebijakan Pemerintah dalam mendukung daya beli masyarakat melalui pelonggaran mobilitas, program bansos, diskon tarif listrik, insentif PPnBM kendaraan bermotor, insentif PPN untuk perumahan, serta relatif terkendalinya inflasi, telah berperan besar mendorong konsumsi masyarakat.
• Berbeda dengan negara ASEAN lainnya yang ditopang oleh perdagangan internasional, struktur ekonomi Indonesia didorong oleh konsumsi domestik yang sangat dipengaruhi mobilitas masyarakat.
• Prospek pemulihan ekonomi nasional ke depan sangat terkait erat dengan proses penanganan dan pengendalian pandemi Covid-19. Memasuki triwulan III 2021, perekonomian nasional dihadapkan pada tantangan meningkatnya penyebaran varian Delta Covid-19. Peningkatan kasus positif dan kematian Covid-19 yang disebabkan varian Delta telah mendorong diberlakukannya pembatasan mobilitas (PPKM Darurat). Penerapan PPKM Darurat diprakirakan mengurangi aktivitas ekonomi, khususnya konsumsi, investasi, dan ekspor. Secara sektoral, PPKM Darurat juga akan berdampak pada sektor-sektor yang bergantung pada mobilitas masyarakat, seperti perdagangan, transportasi, serta hotel dan restoran. Oleh karena itu, penyebaran varian Delta Covid-19 tersebut dapat menjadi downside risk bagi outlook pertumbuhan ekonomi pada paruh kedua tahun 2021.
• Namun demikian, kami akan terus mendukung berbagai upaya mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi saat ini, antara lain:
Mendukung rencana percepatan serapan belanja Pemerintah, terutama Pemerintah Daerah, dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah diharapkan dapat mendorong ekonomi daerah yang berbasis pertanian dan perkebunan, a.l. dengan meningkatkan penyaluran KUR Pertanian yang telah menjadi sektor prioritas.
Meningkatkan kontribusi selain konsumsi (masyarakat maupun pemerintah) dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi agar tercipta pertumbuhan yang lebih stabil dan berkesinambungan.
Mendorong sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dan berorientasi ekspor, dan ramah lingkungan yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah di bidang perubahan iklim (climate change dan sustainable finance).
Bagaimana dampak PPKM yang berkepanjangan terhadap kemampuan membayar cicilan debitur?
Sejauh ini tidak ada masalah yang mengemuka. Kami meyakini perbankan telah berkomunikasi dengan para debiturnya terkait bagaimana pemenuhan kewajiban debitur di masa pandemi Covid-19 baik yang diikuti kebijakan PPKM. Tentu solusinya adalah win-win atau mutual benefits.
Bagaimana pantauan OJK terhadap tren restrukturisasi yang sebelumnya sempat melandai, apakah berpotensi terjadi peningkatan lagi?
Hingga 14 Juni 2021 lalu, total outstanding kredit restrukturisasi terdampak Covid-19 sebesar Rp 777,31 triliun. Sebesar Rp 292,39 triliun atau 37,62% berasal dari UMKM, sedangkan non-UMKM sebesar Rp 484,92 triliun atau 62,38%. Kebijakan restrukturisasi kredit direspons cukup baik oleh sektor riil maupun perbankan. Hingga posisi 14 Juni 2021, tercatat ada 101 bank yang telah melakukan implementasi restrukturisasi kredit. Dengan demikian, restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 menunjukkan perbaikan tercermin dari menurunnya jumlah baki debet (outstanding) kredit yang direstrukturisasi. Meskipun ada PPKM, kami berharap restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 terus berlanjut dengan baik untuk menjaga kinerja perbankan baik secara industri maupun individual bank. Dunia usaha pun pulih dan semakin kuat melanjutkan usahanya.
Dari pantauan OJK, dari kredit yang direstrukturisasi karena Covid-19, berapa besarkah kredit yang akan menjadi bad debt?
Harapan kami restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 dapat terus dilakukan dengan berbagai cara atau strategi yang dilakukan oleh bank-bank dengan para debiturnya mengacu kepada POJK Nomor 48/POJK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019. Dengan mempertimbangkan perkembangan pandemi Covid-19 yang hingga saat ini angka kasus positif hariannya masih relatif tinggi (rata-rata 30.000 kasus), kami melihat adanya potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan.
Langkah ini ditempuh untuk memenuhi kepentingan semua pihak, yaitu pemerintrah, otoritas, perbankan, dunia usaha dan masyarakat luas yang sedang secara bersama-sama bekerja keras mendorong pemulihan ekonomi. Di sini kami juga mengingatkan perbankan untuk senantiasa memelihara rasio cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang memadai sebagai antisipasi menuju ke fase normalisasi.
Bagaimana dengan restrukturisasi perusahaan tekstil, Garuda Indonesia, Krakatau Steel dan beberapa BUMN karya?
Seberapa ketahanan perbankan terhadap beban restrukturisasi? Proses restrukturisasi korporasi swasta maupun BUMN, apapun sektor usahanya, terus berjalan sesuai dengan praktik restrukturisasi korporasi yang berlaku. Pemilik dan pengurus korporasi tentu memiliki strategi yang tepat dalam melakukan restrukturisasi korporasi ini. Sedangkan khusus untuk kredit bermasalah yang dialami korporasi/BUMN karena terdampak Covid-19, maka rujukan restrukturisasinya adalah POJK Nomor 48/POJK.03/2020. Dengan restrukturisasi yang dijalankan dengan baik, ketahanan perbankan dapat dijaga dengan baik pula. Rasio kecukupan modal (CAR) perbankan Mei 2021 tetap tinggi sebesar 24,28%, dan rasio kredit bermasalah (NPL) tetap terjaga, yakni 3,35% (bruto) dan 1,10% (neto).
Seperti apa seharusnya antisipasi yang dilakukan perbankan untuk menjaga tingkat NPL jika kebijakan restrukturisasi akan normalisasi kembali?
Antisipasi perbankan di tahap awal sebelum kredit diberikan adalah melakukan credit assessment yang baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkait credit risks management. Pada saat kredit berjalan, pemantauan wajib dilakukan dengan ketat terkait penggunaan fasilitas kredit, yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas kredit. Jika sampai terjadi penurunan kualitas kredit hingga menjadi NPL, maka kalau penyebabnya adalah Pandemi Covid-19, bank dapat mengacu pada POJK Nomor 48/POJK.03/2020 untuk restrukturisasi kreditnya. Jika NPL terjadi bukan karena dampak pandemi, bank bisa menggunakan kebijakan restrukturisasi NPL standar sesuai aturan yang berlaku.
OJK berencana untuk memperpanjang restrukturisasi kredit perbankan, apa latar belakangnya, dan berapa lama?
OJK mempertimbangkan perpanjangan kebijakan relaksasi kredit yang akan berakhir pada Maret 2022. Hal ini dilakukan karena upaya pemulihan ekonomi nasional terhambat oleh pembatasan mobilitas masyarakat akibat lonjakan angka positif Covid-19. OJK melihat adanya pembatasan mobilitas masyarakat akibat meningkatnya angka yang terpapar Covid-19 sekarang ini bisa menyebabkan upaya pemulihan ekonomi yang dijalankan Pemerintah terhambat. Oleh karena itu, OJK melihat adanya potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan yang selama ini sudah diatur dalam POJK Nomor 48/POJK.03/2020 dan restrukturisasi pembiayaan di Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berdasarkan Peraturan OJK Nomor 58/POJK.05/2020. Perpanjangan beleid ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi perbankan dan dunia usaha bertahan dan melanjutkan usahanya untuk menopang pemulihan perekonomian nasional. Keputusan resmi OJK akan dikeluarkan paling lambat akhir Agustus 2021. Saat ini rencana perpanjangan kembali POJK No. 48/2020 masih dalam pengkajian di internal OJK.
Di sisa kuartal III dan pada kuartal IV mendatang, bagaimana pandangan OJK terhadap ketahanan sektor jasa keuangan dan pasar modal di Indonesia? Serta, bagaimana upaya OJK untuk mendorong peningkatan kontribusi industri keuangan dan pasar modal untuk membantu tren kelanjutan pemulihan ekonomi?
Sektor Jasa Keuangan secara umum dalam kondisi stabil, indikator prudensial terjaga dan kinerja TW II-2021 meningkat. Di Perbankan, likuiditas ample dan kondisi permodalan berada jauh di atas threshold. Pada Juni 2021, CAR perbankan terjaga di level cukup tinggi (24,33%), dan stabil pada kisaran 20% selama 2 tahun terakhir. Pertumbuhan DPK perbankan cukup signifikan (mencapai 11,28% yoy) dibandingkan kredit, sehingga mendorong likuiditas perbankan semakin ample. Per 4 Agustus 2021, rasio AL/DPK pada level 34,40% (threshold 10%) dan AL/NCD pada level 157,96% (threshold 50%)
Kredit perbankan meningkat tumbuh positif 0,59% (yoy) atau 1,83% (ytd), meneruskan tren perbaikan dalam triwulan terakhir. NPL sebesar 3,24%, masih di bawah threshold 5%. Pada Pasar Modal, IHSG relatif stabil didukung antusiasme dan optimisme pemanfaatan pasar modal untuk pembiayaan ekonomi serta minat beli nonresiden. Pasar SBN menguat seiring dengan meredanya laju kenaikan yield US Treasury akibat langkah Federal Reserve yang masih cukup akomodatif. IHSG posisi 6 Agustus 2021 menguat ke level 6.203,43 (tumbuh 3,75% ytd) dengan aliran dana nonresiden tercatat masuk sebesar Rp18,91 triliun (ytd). Penghimpunan dana melalui pasar modal hingga 3 Agustus 2021 mencapai Rp117,94 triliun atau meningkat sebesar 99,36% yoy dari 27 emiten baru yang melakukan penawaran umum.
Capaian ini hampir melampaui perolehan tahun 2020 yang sebesar Rp118,7 triliun. Ke depannya, diharapkan dapat kembali mencapai level sebelum pandemi di akhir tahun 2021. Terdapat 83 penawaran umum yang masih dalam proses (pipeline) senilai total Rp52,56 triliun dengan 40 penawaran umum diantaranya akan dilakukan melalui mekanisme IPO.
Khusus perbankan, bagaimana evaluasi OJK terhadap tren restrukturisasi yang berlangsung selama pandemi ini?
Restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 sampai dengan saat ini sejalan dengan perkembangan pemulihan ekonomi Indonesia. Per Juni 2021, kredit restru Covid sebesar Rp 791,9T, menurun 4,56% ytd dibandingkan per Desember 2020 (Rp829,7 T).
lanjut ke halaman berikutnya
Sejauh mana OJK memandang insentif berupa restrukturisasi kredit bagi debitur yang bisnisnya terdampak pandemi diperlukan oleh perbankan?
Kebijakan restrukturisasi kredit direspons cukup baik oleh sektor riil maupun perbankan karena memberikan kesempatan atau ruang kepada debitur maupun perbankan untuk mengatur kondisi keuangan setelah terkena dampak pandemi. Perbankan melaksanakan restrukturisasi kredit dalam koridor POJK Nomor 48/POJK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Pembatasan mobilitas masyarakat akibat meningkatnya angka yang terpapar Covid-19 (rata-rata harian si atas 20 ribu kasus) sekarang ini bisa menyebabkan upaya pemulihan ekonomi yang dijalankan pemerintah terhambat, sehingga terdapat potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan maupun IKNB. Langkah perpanjangan restrukturisasi ditempuh untuk memenuhi kepentingan semua pihak, yaitu pemerintah, otoritas, perbankan, dunia usaha dan masyarakat luas yang sedang secara bersama-sama bekerja keras mendorong pemulihan ekonomi nasional.
OJK juga mengingatkan perbankan untuk tetap senantiasa memelihara rasio Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang memadai sebagai antisipasi menuju ke fase normalisasi.
Pada pekan lalu, salah satu e-commerce terbesar di Indonesia. Bukalapak resmi melantai dan menjadi emiten di BEI. Perihal hal tersebut, bagaimanakah pandangan dan optimisme OJK untuk prospek pengembangan pasar modal ke depan? Mengingat selain Bukalapak juga beredar kabar bahwa sejumlah raksasa teknologi lainnya. seperti Gojek-Tokopedia, Traveloka, hingga J&T Express juga mengkaji opsi listing di BEI?
Perkembangan IPO di pasar modal menunjukkan optimisme sektor riil untuk masuk ke pasar modal. Terdapat multiplier effect dari IPO, dimana issuer akan menginvestasikan kembali dana IPO untuk pengembangan usaha atau ekspansi usaha.
Dalam hal ini, OJK sangat memandang baik dan mendukung pengembangan pasar modal melalui IPO tersebut, khususnya karena potensi ekonomi Indonesia besar sekali dan belum tergarap dengan maksimal, demand masyarakat sangat besar, basis demografi populasi yang besar (272 juta penduduk), dan ketimpangan pembangunan dan investasi di daerah-daerah yang perlu dikelola dengan baik.
Bukalapak merupakan salah satu dari beberapa perusahaan rintisan (startup) di Indonesia berstatus unicorn dan decacorn yang mempertimbangkan IPO, khususnya sejak pertengahan tahun.
Dari beberapa rencana tersebut, perusahaan startup yang akhirnya berhasil melakukan IPO adalah PT Bukalapak yang melepas sahamnya sebanyak 25,7 miliar saham dengan total nilai Penawaran Umum Perdana sebesar Rp21,9 triliun.
Kondisi ini tidak lepas dari meningkatnya minat masyarakat yang mencari alternatif investasi selain perbankan. Hal ini tercermin dari jumlah investor ritel masih terus mengalami peningkatan menjadi 5,82 juta investor per Juli-21, didukung peningkatan frekuensi transaksi saham terutama pada akhir Juli-21.
Masuknya unicorn dan decacorn ke bursa saham domestik tentu akan berpotensi mendongkrak market cap saham emiten di BEI dan menarik lebih banyak investor, termasuk investor asing. Masuknya perusahaan-perusahaan startup tersebut juga diprediksi bakal lebih menggairahkan perdagangan saham di bursa dalam negeri.
Dengan adanya IPO dan listing sejumlah saham emiten berbasis digital bahkan salah satunya adalah perusahaan raksasa digital, apakah OJK ada arahan khusus kepada manajemen BEI terkait perubahan regulasi yang lebih mengakomodasi akselerasi perkembangan di pasar modal ke depan?
Masing-masing calon emiten dipersilakan berkonsultasi atau berdiskusi dengan SRO, dalam hal ini Bursa Efek Indonesia. OJK juga terbuka menerima masukan. Ke depannya, memperhatikan manfaat strategis bagi perekonomian, rencana perusahaan-perusahaan unicorn/decacorn tersebut untuk melakukan IPO di Indonesia tentu saja dapat didukung, khususnya agar tidak beralih ke bursa luar negeri dan investor domestik dapat menikmati manfaat dari kepemilikan saham di perusahaan inovatif dan berteknologi maju tersebut.
OJK bekerja sama dengan Bursa Efek Indonesia sedang menyiapkan regulasi yang sesuai dengan karakteristik unicorn/decacorn tersebut, khususnya bagi unicorn/decacorn yang menggunakan teknologi untuk menciptakan inovasi produk berbasis new economy, yang dapat meningkatkan produktivitas, pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta memiliki kemanfaatan sosial yang luas.
Mengapa suku bunga kredit sulit untuk turun lebih rendah? Bagaimana tanggapan OJK mengenai NIM relatif masih besar meski kredit tumbuh kecil?
Sejatinya suku bunga sudah bergerak turun baik untuk simpanan maupun kredit. Di pasar uang dan pasar dana, suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) overnight dan suku bunga 1 bulan deposito perbankan telah menurun, masing-masing sebesar 153 bps dan 209 bps sejak Mei 2020 menjadi 2,79% dan 3,60% pada Mei 2021. Di pasar kredit, penurunan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan terus berlanjut, yaitu menurun sebesar 169 bps sejak Mei 2020 menjadi 8,86% pada Mei 2021. Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) menjadi pendorong utama penurunan SBDK. Di sisi lain, premi risiko perbankan menunjukkan penurunan, yang mengindikasikan persepsi risiko perbankan terhadap dunia usaha cenderung membaik.
Penurunan premi risiko tersebut mendorong penurunan suku bunga kredit baru di hampir semua kelompok bank. Berdasarkan jenis kredit, penurunan suku bunga kredit baru paling dalam terjadi pada jenis kredit mikro, diikuti kredit investasi dan modal kerja. Terkait Net Interest Margin (NIM) yang masih relatif masih tinggi menurut persepsi masyarakat, sebetulnya hal itu merupakan mekanisme pasar perbankan. Dengan semakin tingginya literasi keuangan masyarakat, diharapkan masyarakat akan memilih bank yang memberikan layanan yang lebih berkualitas daripada iming-iming suku bunga. Suku bunga kredit yang kompetitif (lebih rendah dibanding bank-bank pesaing) akan menjadi faktor utama menarik debitur yang pada gilirannya akan menekan bank untuk menurunkan NIM. Penurunan NIM harus diikuti dengan peningkatan efisiensi operasional sebagai kompensasinya sehingga bottomline (net profit) bank tetap terjaga baik.
Efisiensi operasional bisa dilakukan dengan mengubah cara kerja bank melalui transformasi digitalnya. Paralel dengan itu, di masa pandemic ini diperlukan upaya cerdas untuk mendorong kenaikan fee based income (pendapatan non bunga) melalui layanan digital transactional banking.
Berdasarkan kelompok Bank, BUMN yang paling besar menaikkan margin keuntungan selama periode Maret-Mei 2021, sedangkan seharusnya BUMN berperan sebagai agen pembangunan, belum lagi dengan target dividen yang terlampau tinggi yang sepertinya tidak sejalan dengan konsep sharing the pain. Apakah akan ada kebijakan khusus dari OJK untuk mendorong penyaluran kredit perbankan di masa pandemi ini, terutama untuk Bank BUMN?
Istilah yang benar bukan bank menaikkan NIM, melainkan kecakapan bank dalam mengelola pendapatan bunga dengan beban bunga yang menyebabkan NIM terkesan naik. Kami tahu setiap individual bank harus menjaga NIM pada level tertentu untuk dapat mempertahankan kinerjanya. Terkait deviden Bank BUMN, hal itu menjadi domain pemegang saham. Terkait dorongan penyaluran kredit di masa pandemi, OJK senantiasa melakukan komunikasi kepada perbankan bagaimana mendorong fungsi intermediasi secara ekstra hati-hati. OJK tidak bisa memaksakan bank-bank harus melakukan ekspansi kredit karena semua terpulang kembali kepada policy setiap bank.
Pemegang saham lebih memiliki concern untuk memberikan guidance supaya bank tetap menyalurkan kredit di masa pandemi dengan koridor prudensial yang tinggi. Kami meyakini, jika kondisi herd immunity sebagai wujud keberhasilan program vaksinasi dan prokes (6M dan 3T) yang ketat, diikuti pembukaan ekonomi dan mobilitas masyarakat, maka dengan sendirinya permintaan kredit akan meningkat. Jadi ini hanya masalah waktu saja.
Bagaimana dukungan OJK untuk pembiayaan sektor UMKM? OJK terus berupaya dan mencari solusi terbaik dalam pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), antara lain melalui peningkatan literasi dan inklusi keuangan di masyarakat. Peningkatan literasi dan inklusi keuangan, diyakini bisa mengembangkan UMKM karena pelaku UMKM dapat lebih memahami konsep dasar dari produk keuangan, melakukan perencanaan dan pengelolaan keuangan yang lebih baik, serta melindungi mereka dari penipuan dan usaha tidak sehat di pasar keuangan.
OJK terus mengembangkan program peningkatan kapasitas UMKM melalui sektor jasa keuangan, seperti dari perbankan, industri keuangan non bank dan pasar modal serta edukasi keuangan ke kalangan UMKM. Untuk itu, pengembangan Literasi dan Inklusi Keuangan, selain bersifat top down dalam bentuk leadership dan kebijakan Pemerintah maupun regulator termasuk OJK, juga bersifat bottom up dengan melibatkan inisiatif dari industri jasa keuangan maupun organisasi kemasyarakatan lainnya. OJK perlu selalu bersinergi dengan Industri Jasa Keuangan dan Kementerian/Lembaga terkait dalam melakukan berbagai program literasi dan inklusi keuangan. Monitoring, evaluasi dan perbaikan yang berkelanjutan, bersama dengan seluruh pihak terkait secara berkala atas berbagai program pengembangan literasi dan inklusi keuangan yang telah dijalankan juga harus dilaksanakan.
Ke depan, pengembangan literasi dan inklusi keuangan untuk pengembangan UMKM, juga memerlukan optimalisasi pemanfaatan financial technology untuk memudahkan akses dan memperluas jangkauan. Kami memandang UMKM memberikan kontribusi cukup signifikan bagi perekonomian. Secara statistik, UMKM memberikan kontribusi 57,9% terhadap PDB Indonesia dan menyerap 97% dari pekerja nasional sehingga OJK memandang UMKM perlu diberdayakan dan ditingkatkan untuk mendorong perekonomian negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Menurut OJK sektor-sektor apa saja yang dapat menjadi prioritas penyaluran kredit dalam rangka strategi peningkatan penyaluran kredit?
Apakah akan ada kebijakan dari OJK untuk mendukung penyaluran ke sektor-sektor tersebut? Ada dua hal yang perlu diperhatikan bank dalam melakukan penyaluran kredit ke sektor-sektor pilihan. Pertama, disesuaikan dengan keunggulan ekonomi suatu daerah. Kedua, disesuaikan dengan kompetensi atau kapabilitas bank dalam melakukan pembiayaan ke sektor-sektor ekonomi pilihannya.
Kemampuan bank untuk melakukan pemetaan sektor ekonomi baik dalam skala nasional maupun daerah/wilayah/propinsi penting sebagai rujukan penyaluran kredit ke sektor yang prospektif. Seyogyanya bank memiliki kemampuan untuk mendeteksi dan menganalisasi potensi ekonomi andalan atau unggulan di suatu daerah dan dikaitkan dengan kesiapan sumber daya manusianya di bidang kredit yang akan melakukan pengelolaan kredit sektoral tersebut. Ini dimaksudkan supaya kredit yang diberikan tetap berada dalam kolektibilitas lancar. Secara spesifik, OJK menghimbau agar Pemerintah daerah dapat mendorong ekonomi daerah berbasis pertanian dan perkebunan untuk meningkatkan penyaluran KUR Pertanian yang sudah menjadi sektor prioritas.
OJK juga memandang dibutuhkan juga upaya untuk mendorong sumber pertumbuhan ekonomi baru yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan berorientasi ekspor sehubungan dengan peningkatan permintaan global, yang juga ramah lingkungan sejalan dengan kebijakan Pemerintah di bidang perubahan iklim (climate change dan sustainable finance).
Bagaimana proyeksi pertumbuhan kredit untuk kuartal 3 dan 4?
Pertumbuhan kredit diperkirakan akan sedikit tertekan di kuartal III-2021, sejalan dengan menurunnya kegiatan ekonomi karena pembatasan mobilitas (PPKM) terhadap pandemi Covid-19, dan akan kembali meningkat pada kuartal IV-2021. Dengan perkembangan tersebut, OJK memperkirakan pertumbuhan kredit pada 2021 akan berkisar 6% +/- 1% (5-7%), juga sesuai dengan rencana Bisnis Bank Bank (RBB) 2021. Perlu kami ingatkan, bahwa peran pasar modal sebagai pendukung pemulihan ekonomi juga menjadi andalan penting karena pasar modal menjadi sumber pembiayaan alternatif bagi korporasi/dunia usaha untuk melakukan ekspansi usaha. Pasar modal juga menjadi alternatif investasi bagi sebagian masyarakat, termasuk kelompok investor milenial, dimana instrumen investasi di pasar modal diyakini mampu memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan instrumen investasi di perbankan.
Bagaimana gambaran sektor perbankan di negara-negara ASEAN dibandingkan Indonesia selama masa pandemi dan dampak ke perekonomian masing-masing negara?
Secara umum pandemi Covid-19 telah menekan perekonomian negara-negara di kawasan ASEAN. Sampai dengan kuartal I-2021 lalu, perekonomian masing-masing negara mengalami kontraksi (hanya Vietnam yang positif di level 4,5%). Pemulihan ekonomi negara-negara di ASEAN berjalan dengan kecepatan berbeda bergantung pada kecepatan penanganan pandemi Covid-19 melalui vaksinasi massal dan disiplin protokol kesehatan. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, proses vaksinasi tidak akan secepat negara-negara non-kepulauan seperti Singapura dan Vietnam.
lanjut ke halaman berikutnya
Khusus perbankan, dengan realisasi outstanding penyaluran kredit yang sudah tumbuh positif, yakni 0,59% hingga akhir Juni 2021, bagaimanakah penilaian OJK terhadap pertumbuhan kredit 2021? Apakah perbankan masih berpotensi untuk menjaga momentum pertumbuhan kredit dalam rentang positif untuk tahun 2021?
Serangkaian sinergi kebijakan pre-emptive dan forward looking telah dikeluarkan agar intermediasi perbankan dapat terlaksana sesuai RBB di awal tahun, dimana proyeksi kami sebelum diberlakukannya PPKM dan peningkatan laju kasus Covid-19 mengisyaratkan bahwa tahun ini perbankan lebih optimis dibandingkan tahun lalu.
Kredit korporasi saat ini cenderung turun karena size bisnis atau kapasitas usahanya menurun disebabkan demand masyarakat berkurang. Di sisi lain, perlahan kredit konsumer dan komersial naik.
Likuiditas yang ample dan permodalan perbankan yang kuat menunjukkan bahwa perbankan siap untuk mendukung intermediasi. Perbankan juga telah melakukan upaya meningkatkan kredit dengan menurunkan suku bunga yang lebih rendah mengikuti arah suku bunga acuan. SBDK juga telah berada pada posisi single digit, yaitu 9,88% (turun 60 bps dibanding Des-20), didorong oleh penurunan harga pokok dana seiring dengan penurunan suku bunga simpanan dan juga penurunan biaya overhead.
Peningkatan kredit bergantung pada pulihnya konsumsi masyarakat, confidence dunia usaha serta keberhasilan menurunkan jumlah kasus covid-19. Untuk itu, perlu dilakukan upaya bersama untuk percepatan program vaksinasi agar tercipta herb community di masyarakat. Kami bersama industri jasa keuangan akan berpartisipasi penuh mendorong percepatan vaksinasi melalui vaksinasi 10 juta dosis sampai dengan Desember 2021.
Mengacu evaluasi hingga semester I-2021 dan kondisi ekonomi dalam negeri, bagaimana proyeksi OJK terhadap prospek daya tahan dari industri keuangan non- bank?
IKNB masih dalam kondisi baik dengan tingkat risiko yang terjaga.
• Perusahaan Pembiayaan
Pertumbuhan Piutang Pembiayaan masih terkontraksi sebesar -11,1% yoy dengan Rasio NPF Perusahaan Pembiayaan membaik ke level 3,96%.
Gearing Ratio Perusahaan Pembiayaan tercatat di level 2,03 kali, jauh di bawah maksimum (10 kali).
• Asuransi
Premi asuransi telah dalam zona pertumbuhan, yaitu asuransi jiwa tumbuh 18,4% yoy, namun untuk asuransi umum/reasuransi masih terkontraksi -0,5% yoy.
Risk-Based Capital (RBC) industri asuransi jiwa (647,7%) dan asuransi umum (314,84%), jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120%.
• OJK juga telah melaksanakan secara bertahap proses penguatan dan reformasi IKNB, sehingga ke depannya diharapkan kinerja IKNB akan meningkat, khususnya dari sisi daya tahan, daya saing, tata kelola, keragaman produk, kualitas layanan dan dukungan teknologi.
Bisa dijelaskan bagaimana roadmap digitalisasi di sektor jasa keuangan menurut OJK?
OJK telah merancang Digital Finance Innovation Roadmap And Action Plan 2020-2024 yang mencakup Rencana Aksi dan Quick Wins OJK dalam mengakselerasi transformasi digital di sektor jasa keuangan secara menyeluruh. Rencana Aksi dan Quick Wins yang akan dilakukan oleh OJK dalam mendukung transformasi digital, yaitu:
1) OJK akan mengembangkan inovasi yang bertanggungjawab di sektor jasa keuangan melalui optimalisasi regulatory Sandbox.
2) Transformasi digital di sektor keuangan harus mendukung stabilitas sistem keuangan sehingga tercipta level playing field dan meminimalisir regulatory arbitrage. Selain itu, pengembangan produk dan layanan keuangan digital harus tetap memperhatikan prinsip market conduct dan kehati-hatian yang diimbangi dengan manajemen risiko yang handal.
3) Transformasi digital harus menjadi ujung tombak pertumbuhan ekonomi nasional dengan mendorong UMKM bertransformasi digital melalui pelatihan dan pendampingan secara intensif, juga harus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah berdasarkan potensi ekonominya.
4) Transformasi digital diharapkan dapat meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia melalui perluasan akses pembiayaan kepada masyarakat di remote area. Selain itu, OJK terus mendorong industri jasa keuangan untuk memanfaatkan teknologi dalam meningkatkan transparansi dan perlindungan konsumen.
Bisa dijelaskan bagaimana peran OJK di masa pandemi ini, khususnya dalam mendukung stabilitas sistem keuangan dan pemulihan ekonomi nasional?
OJK bersama dengan Pemerintah dan Bank Indonesia bahu membahu bersinergi mengeluarkan serangkaian kebijakan extraordinary, preemptive dan forward looking untuk memitigasi dampak pandemi Covid di tahun 2020 dan 2021 ini, diantaranya:
Untuk meredam volatilitas di pasar modal, OJK telah mengeluarkan berbagai kebijakan stabilisasi pasar di pasar modal untuk menjaga sentimen pasar, di antaranya:
• Pelarangan short selling untuk sementara waktu.
• Asymmetric auto rejection & trading halt 30 menit untuk penurunan sebesar 5%.
• Buyback saham tanpa melalui RUPS oleh emiten yang memenuhi persyaratan tertentu.
OJK juga mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit (POJK 11/2020, yang diperpanjang dengan POJK No. 48/2020, untuk memberikan ruang bagi perbankan dan sektor riil memiliki ketahanan dalam menghadapi dampak pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Bagaimana OJK melihat tantangan ke depan? Kebijakan apa yang ditempuh?
Di masa pandemi kita dihadapkan pada tantangan bagaimana menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan untuk dapat mendukung pemulihan ekonomi:
Percepatan program vaksinasi di tengah penyebaran strain atau varian baru, khususnya varian Delta. Pemulihan ekonomi dan unwinding stimulus/normalisasi kebijakan di negara-negara maju (Eropa dan Amerika Serikat) yang berpotensi menimbulkan capital outflow dana negara berkembang Asia.
Pemanfaatan peluang perbaikan permintaan global, terutama dari negara-negara mitra dagang utama.
Percepatan transformasi digital di tengah pergeseran perilaku konsumen dengan tetap mewaspadai potensi cyber risk.
Pengelolaan climate risk issue secara seksama yang saat ini tengah menjadi agenda global.
Adapun kebijakan ke depan yang akan ditempuh oleh OJK adalah sebagai berikut:
Mengawal pelaksanaan PPKM level 4 dan 3 dengan baik.
Mempercepat implementasi program vaksinasi.
• OJK bersama Kementerian Kesehatan melakukan vaksinasi massal pelaku SJK dan masyarakat dengan target minimal 335 ribu orang sampai Juli 2021.
• Mendorong pendirian sentra vaksinasi oleh lembaga keuangan untuk vaksinasi pegawai dan konsumen.
Mendukung optimalisasi kebijakan fiskal Pemerintah, termasuk dalam penyerapan anggaran di Pusat dan Daerah.
Mengakselerasi Hilirisasi Ekonomi dan Keuangan Digital:
• Pengembangan ekosistem digital yang terintegrasi.
• Rencana Aksi dan Quick Wins OJK dalam mengakselerasi transformasi digital yang tercakup dalam Digital Finance Innovation Roadmap And Action Plan 2020-2024.
Mendorong implementasi Sustainable Finance sebagai sumber pembiayaan masa depan yang utama, mencakup
• Pengembangan taksonomi hijau.
• Pengembangan kerangka manajemen risiko lingkungan (climate related financial risk) bagi industri dan pengawas.
• Inovasi produk dan layanan keuangan berkelanjutan.
• Peningkatan awareness dan capacity building untuk seluruh pemangku kepentingan.