Buka-bukaan Bos OJK soal Bunga Kredit Sulit Turun hingga Dampak PPKM

Buka-bukaan Bos OJK soal Bunga Kredit Sulit Turun hingga Dampak PPKM

Zulfi Suhendra - detikFinance
Minggu, 08 Agu 2021 16:14 WIB
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso
Foto: Agus Dwi Nugroho / 20detik

Indonesia telah resmi keluar dari jeratan resesi ekonomi usai meraih pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 yang sebesar 7,07% secara tahunan. Mengenai hal tersebut, bagaimana OJK memaknai pencapaian tersebut dan memandang prospek pertumbuhan ekonomi pada sisa 2021?

β€’ Momentum penguatan kinerja ekonomi global dan kebijakan countercyclical Pemerintah serta kebijakan moneter dan sektor keuangan yang akomodatif telah mampu mendorong berlanjutnya arah pemulihan ekonomi nasional.

β€’ Capaian PDB TW II-2021 (7,07% yoy) merupakan sinyal positif perbaikan ekonomi yang disambut baik pasar dengan meningkatnya IHSG level 6.205,42 pada penutupan pasar hari tersebut (5 Agustus 2021).

β€’ Pertumbuhan pada triwulan II-2021, didorong oleh belanja pemerintah dan konsumsi Rumah Tangga seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat pada triwulan tersebut.

β€’ Realisasi belanja negara yang tumbuh relatif tinggi (9,38%, yoy) pada semester I 2021, baik dalam bentuk belanja barang, program bansos, maupun belanja modal memberikan dorongan yang cukup signifikan pada komponen PDB dari sisi pengeluaran. Hal ini mendorong peningkatan konsumsi pemerintah sebesar 8,06% (yoy).

β€’ Konsumsi masyarakat, yang mencakup sekitar 55% dari total PDB, mampu tumbuh 5,93%. Selain faktor base effect momentum Ramadan dan hari raya Idul Fitri, berbagai kebijakan Pemerintah dalam mendukung daya beli masyarakat melalui pelonggaran mobilitas, program bansos, diskon tarif listrik, insentif PPnBM kendaraan bermotor, insentif PPN untuk perumahan, serta relatif terkendalinya inflasi, telah berperan besar mendorong konsumsi masyarakat.

β€’ Berbeda dengan negara ASEAN lainnya yang ditopang oleh perdagangan internasional, struktur ekonomi Indonesia didorong oleh konsumsi domestik yang sangat dipengaruhi mobilitas masyarakat.

β€’ Prospek pemulihan ekonomi nasional ke depan sangat terkait erat dengan proses penanganan dan pengendalian pandemi Covid-19. Memasuki triwulan III 2021, perekonomian nasional dihadapkan pada tantangan meningkatnya penyebaran varian Delta Covid-19. Peningkatan kasus positif dan kematian Covid-19 yang disebabkan varian Delta telah mendorong diberlakukannya pembatasan mobilitas (PPKM Darurat). Penerapan PPKM Darurat diprakirakan mengurangi aktivitas ekonomi, khususnya konsumsi, investasi, dan ekspor. Secara sektoral, PPKM Darurat juga akan berdampak pada sektor-sektor yang bergantung pada mobilitas masyarakat, seperti perdagangan, transportasi, serta hotel dan restoran. Oleh karena itu, penyebaran varian Delta Covid-19 tersebut dapat menjadi downside risk bagi outlook pertumbuhan ekonomi pada paruh kedua tahun 2021.

β€’ Namun demikian, kami akan terus mendukung berbagai upaya mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi saat ini, antara lain:
οƒ˜ Mendukung rencana percepatan serapan belanja Pemerintah, terutama Pemerintah Daerah, dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah diharapkan dapat mendorong ekonomi daerah yang berbasis pertanian dan perkebunan, a.l. dengan meningkatkan penyaluran KUR Pertanian yang telah menjadi sektor prioritas.
οƒ˜ Meningkatkan kontribusi selain konsumsi (masyarakat maupun pemerintah) dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi agar tercipta pertumbuhan yang lebih stabil dan berkesinambungan.
οƒ˜ Mendorong sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dan berorientasi ekspor, dan ramah lingkungan yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah di bidang perubahan iklim (climate change dan sustainable finance).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana dampak PPKM yang berkepanjangan terhadap kemampuan membayar cicilan debitur?

Sejauh ini tidak ada masalah yang mengemuka. Kami meyakini perbankan telah berkomunikasi dengan para debiturnya terkait bagaimana pemenuhan kewajiban debitur di masa pandemi Covid-19 baik yang diikuti kebijakan PPKM. Tentu solusinya adalah win-win atau mutual benefits.

ADVERTISEMENT

Bagaimana pantauan OJK terhadap tren restrukturisasi yang sebelumnya sempat melandai, apakah berpotensi terjadi peningkatan lagi?

Hingga 14 Juni 2021 lalu, total outstanding kredit restrukturisasi terdampak Covid-19 sebesar Rp 777,31 triliun. Sebesar Rp 292,39 triliun atau 37,62% berasal dari UMKM, sedangkan non-UMKM sebesar Rp 484,92 triliun atau 62,38%. Kebijakan restrukturisasi kredit direspons cukup baik oleh sektor riil maupun perbankan. Hingga posisi 14 Juni 2021, tercatat ada 101 bank yang telah melakukan implementasi restrukturisasi kredit. Dengan demikian, restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 menunjukkan perbaikan tercermin dari menurunnya jumlah baki debet (outstanding) kredit yang direstrukturisasi. Meskipun ada PPKM, kami berharap restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 terus berlanjut dengan baik untuk menjaga kinerja perbankan baik secara industri maupun individual bank. Dunia usaha pun pulih dan semakin kuat melanjutkan usahanya.

Dari pantauan OJK, dari kredit yang direstrukturisasi karena Covid-19, berapa besarkah kredit yang akan menjadi bad debt?

Harapan kami restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 dapat terus dilakukan dengan berbagai cara atau strategi yang dilakukan oleh bank-bank dengan para debiturnya mengacu kepada POJK Nomor 48/POJK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019. Dengan mempertimbangkan perkembangan pandemi Covid-19 yang hingga saat ini angka kasus positif hariannya masih relatif tinggi (rata-rata 30.000 kasus), kami melihat adanya potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan.

Langkah ini ditempuh untuk memenuhi kepentingan semua pihak, yaitu pemerintrah, otoritas, perbankan, dunia usaha dan masyarakat luas yang sedang secara bersama-sama bekerja keras mendorong pemulihan ekonomi. Di sini kami juga mengingatkan perbankan untuk senantiasa memelihara rasio cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang memadai sebagai antisipasi menuju ke fase normalisasi.

Bagaimana dengan restrukturisasi perusahaan tekstil, Garuda Indonesia, Krakatau Steel dan beberapa BUMN karya?

Seberapa ketahanan perbankan terhadap beban restrukturisasi? Proses restrukturisasi korporasi swasta maupun BUMN, apapun sektor usahanya, terus berjalan sesuai dengan praktik restrukturisasi korporasi yang berlaku. Pemilik dan pengurus korporasi tentu memiliki strategi yang tepat dalam melakukan restrukturisasi korporasi ini. Sedangkan khusus untuk kredit bermasalah yang dialami korporasi/BUMN karena terdampak Covid-19, maka rujukan restrukturisasinya adalah POJK Nomor 48/POJK.03/2020. Dengan restrukturisasi yang dijalankan dengan baik, ketahanan perbankan dapat dijaga dengan baik pula. Rasio kecukupan modal (CAR) perbankan Mei 2021 tetap tinggi sebesar 24,28%, dan rasio kredit bermasalah (NPL) tetap terjaga, yakni 3,35% (bruto) dan 1,10% (neto).

Seperti apa seharusnya antisipasi yang dilakukan perbankan untuk menjaga tingkat NPL jika kebijakan restrukturisasi akan normalisasi kembali?

Antisipasi perbankan di tahap awal sebelum kredit diberikan adalah melakukan credit assessment yang baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkait credit risks management. Pada saat kredit berjalan, pemantauan wajib dilakukan dengan ketat terkait penggunaan fasilitas kredit, yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas kredit. Jika sampai terjadi penurunan kualitas kredit hingga menjadi NPL, maka kalau penyebabnya adalah Pandemi Covid-19, bank dapat mengacu pada POJK Nomor 48/POJK.03/2020 untuk restrukturisasi kreditnya. Jika NPL terjadi bukan karena dampak pandemi, bank bisa menggunakan kebijakan restrukturisasi NPL standar sesuai aturan yang berlaku.

OJK berencana untuk memperpanjang restrukturisasi kredit perbankan, apa latar belakangnya, dan berapa lama?

OJK mempertimbangkan perpanjangan kebijakan relaksasi kredit yang akan berakhir pada Maret 2022. Hal ini dilakukan karena upaya pemulihan ekonomi nasional terhambat oleh pembatasan mobilitas masyarakat akibat lonjakan angka positif Covid-19. OJK melihat adanya pembatasan mobilitas masyarakat akibat meningkatnya angka yang terpapar Covid-19 sekarang ini bisa menyebabkan upaya pemulihan ekonomi yang dijalankan Pemerintah terhambat. Oleh karena itu, OJK melihat adanya potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan yang selama ini sudah diatur dalam POJK Nomor 48/POJK.03/2020 dan restrukturisasi pembiayaan di Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berdasarkan Peraturan OJK Nomor 58/POJK.05/2020. Perpanjangan beleid ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi perbankan dan dunia usaha bertahan dan melanjutkan usahanya untuk menopang pemulihan perekonomian nasional. Keputusan resmi OJK akan dikeluarkan paling lambat akhir Agustus 2021. Saat ini rencana perpanjangan kembali POJK No. 48/2020 masih dalam pengkajian di internal OJK.

Di sisa kuartal III dan pada kuartal IV mendatang, bagaimana pandangan OJK terhadap ketahanan sektor jasa keuangan dan pasar modal di Indonesia? Serta, bagaimana upaya OJK untuk mendorong peningkatan kontribusi industri keuangan dan pasar modal untuk membantu tren kelanjutan pemulihan ekonomi?

Sektor Jasa Keuangan secara umum dalam kondisi stabil, indikator prudensial terjaga dan kinerja TW II-2021 meningkat. Di Perbankan, likuiditas ample dan kondisi permodalan berada jauh di atas threshold. Pada Juni 2021, CAR perbankan terjaga di level cukup tinggi (24,33%), dan stabil pada kisaran 20% selama 2 tahun terakhir. Pertumbuhan DPK perbankan cukup signifikan (mencapai 11,28% yoy) dibandingkan kredit, sehingga mendorong likuiditas perbankan semakin ample. Per 4 Agustus 2021, rasio AL/DPK pada level 34,40% (threshold 10%) dan AL/NCD pada level 157,96% (threshold 50%)

Kredit perbankan meningkat tumbuh positif 0,59% (yoy) atau 1,83% (ytd), meneruskan tren perbaikan dalam triwulan terakhir. NPL sebesar 3,24%, masih di bawah threshold 5%. Pada Pasar Modal, IHSG relatif stabil didukung antusiasme dan optimisme pemanfaatan pasar modal untuk pembiayaan ekonomi serta minat beli nonresiden. Pasar SBN menguat seiring dengan meredanya laju kenaikan yield US Treasury akibat langkah Federal Reserve yang masih cukup akomodatif. IHSG posisi 6 Agustus 2021 menguat ke level 6.203,43 (tumbuh 3,75% ytd) dengan aliran dana nonresiden tercatat masuk sebesar Rp18,91 triliun (ytd). Penghimpunan dana melalui pasar modal hingga 3 Agustus 2021 mencapai Rp117,94 triliun atau meningkat sebesar 99,36% yoy dari 27 emiten baru yang melakukan penawaran umum.

Capaian ini hampir melampaui perolehan tahun 2020 yang sebesar Rp118,7 triliun. Ke depannya, diharapkan dapat kembali mencapai level sebelum pandemi di akhir tahun 2021. Terdapat 83 penawaran umum yang masih dalam proses (pipeline) senilai total Rp52,56 triliun dengan 40 penawaran umum diantaranya akan dilakukan melalui mekanisme IPO.

Khusus perbankan, bagaimana evaluasi OJK terhadap tren restrukturisasi yang berlangsung selama pandemi ini?

Restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 sampai dengan saat ini sejalan dengan perkembangan pemulihan ekonomi Indonesia. Per Juni 2021, kredit restru Covid sebesar Rp 791,9T, menurun 4,56% ytd dibandingkan per Desember 2020 (Rp829,7 T).

lanjut ke halaman berikutnya


Hide Ads