Saat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didirikan hampir sepuluh tahun yang lalu, harapan melambung tinggi. Semua permasalahan sektor keuangan merasa bisa diselesaikan.
Kewenangan yang begitu besar yang diberikan kepada OJK diyakini bisa menjadi bekal untuk menata system keuangan agar lebih kokoh dan stabil. Dengan adanya OJK, ada pembagian tugas yang jelas antar otoritas, khususnya antara Bank Indonesia (BI) dan OJK.
Tujuan OJK terpusat pada stabilitas dan ketahanan industri keuangan beserta seluruh lembaga yang ada di dalam industri (mikroprudensial). Untuk mencapai tujuannya tersebut OJK memiliki kewenangan mengatur dan mengawasi seluruh industri sektor keuangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, BI yang kehilangan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan masih memiliki tugas di bidang moneter, sistem pembayaran, serta makroprudensial. Tugas di bidang makroprudensial kemudian diartikan bahwa BI bisa melakukan pengawasan terhadap industri keuangan - termasuk melakukan pemeriksaan - dengan tujuan menjaga stabilitas makroprudensial.
Pada awalnya pembagian tugas antara BI dan OJK dianggap jelas dan tidak akan memunculkan dispute. Tetapi dalam pelaksanaannya kemudian tidak sesederhana itu
PBI Pembiayaan Inklusif makroprudensial
Pada akhir Agustus yang lalu BI mengeluarkan kebijakan makroprudensial berupa Peraturan BI (PBI) No.: 23/13/PBI/2021 Tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial Bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, Dan Unit Usaha Syariah. Peraturan ini bertujuan untuk mendorong inklusi keuangan/perbankan yang ditandai oleh meningkatnya penyaluran kredit kepada UMKM oleh perbankan.
PBI No.23 Tahun 2021 sesungguhnya memiliki tujuan yang mulia dengan argumentasi yang cukup kuat. UMKM memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari kontribusi UMKM terhadap PDB, dan terutama lagi dilihat dari penciptaan lapangan kerja.
Menimbang peran UMKM yang begitu besar tersebut wajar saja jika pemerintah sangat berupaya untuk membantu agar UMKM dapat terus tumbuh. Sejalan dengan kebijakan pemerintah tersebut, BI juga ingin berkontribusi mendorong tumbuh kembangnya UMKM.
Melalui PBI No.23 Tahun 2021, BI mewajibkan bank memenuhi Rasio Pembiayaan Inklusif makroprudensial dengan ketentuan paling sedikit sebesar 20% pada posisi akhir bulan Juni 2022 dan posisi akhir bulan Desember 2022. Bank harus sudah memenuhi rasio pembiayaan inklusif paling sedikit sebesar 30% sejak posisi akhir bulan Juni 2024.
BI juga menerapkan sanksi administrative kepada bank apabila tidak bisa memenuhi ketentuan Rasio Pembiayaan Inklusif makroprudensial, mulai dari teguran tertulis hingga kewajiban membayar. Meskipun memiliki itikad yang baik, PBI No.23 Tahun 2021 dinilai memiliki banyak kelemahan. Yang pertama terkait efektivitasnya mendorong pertumbuhan kredit UMKM.
PBI No.23 Tahun 2021 didasarkan asumsi permasalahan pokok rendahnya inklusi keuangan adalah semata karena lemahnya sisi suplai. Sementara kita ketahui persoalan di sisi permintaan juga sangat besar.
Lanjut ke halaman berikutnya
PBI No.23 Tahun 2021 juga tidak mempertimbangkan aspek karakteristik bisnis, level kompetensi, infrastruktur, dan risk appetite masing-masing individu bank yang tidak seluruhnya dapat menyalurkan kredit pada segmen UMKM.
Implementasi PBI No.23 Tahun 2021 terutama pengenaan sanksi finansial akan menambah beban biaya bagi bank di mana saat ini perbankan mengalami tekanan profitabilitas dan potensi peningkatan risiko dari kondisi debitur yang belum sepenuhnya pulih.
Dengan argumentasi di atas kebijakan BI mendorong inkluasi keuangan dengan mewajibkan bank memenuhi rasio pembiayaan inklusi makro prudensial tidak akan cukup efektif memperbaiki tingkat inklusi keuangan di Indonesia. Kebijakan ini diyakini hanya akan memunculkan permasalahan baru di sisi perbankan.
Kelemahan yang kedua, PBI No.23 Tahun 2021 dinilai melanggar batas-batas kewenangan kebijakan makroprudensial. Dengan mengatur dan memberikan sanksi kepada individu bank BI dianggap sudah masuk ke ranah mikroprudensial.
Menghindari Dispute
Menimbang PBI No.23 Tahun 2021 tidak akan effektif dan hanya akan memunculkan beban baru bagi bank, maka seharusnya ketentuan ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. BI, dalam batas-batas kewenangannya di bidang makroprudensial, dapat mendorong penyaluran kredit UMKM dan meningkatkan inklusi perbankan dengan memanfaatkan berbagai instrumen moneter yang dimilikinya.
Penyaluran kredit UMKM hingga 30% dari total kredit adalah target agregat, yang didukung baik oleh Pemerintah maupun OJK. BI juga seharusnya tidak menetapkan target tersebut secara individual bank.
Target penyaluran kredit UMKM pada level individu bank seharusnya diatur oleh OJK melalui rencana bisnis masing-masing bank. Apabila sudah ada bank yang secara individu telah memenuhi target tersebut (lebih dari 30%), maka OJK akan tetap meminta bank tersebut untuk meningkatkan persentase setiap tahunnya dalam bank business plan.
Dispute kewenangan makroprudensial vs mikroprudensial seharusnya tidak pernah terulang lagi di masa yang akan datang. Untuk itu perlu ada batas-batas yang tegas antara kedua kewenangan tersebut.
Salah satu pihak (BI, OJK, atau pihak lainnya) bisa mengambil inisiatif mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan MK terkait batas-batas kewenangan makroprudensial akan membantu masing-masing otoritas untuk focus ada tugas dan kewenangannya sendiri dan memberikan kejelasan bagi industri, sehingga stabilitas bisa lebih mudah dicapai.
Fathya Nirmala Hanoum
Peneliti CORE Indonesia