Sistem keuangan Amerika Serikat mulai terlihat rapuh. Hal ini ditandai dengan sejumlah perusahaan bank yang mengalami kebangkrutan hingga maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Baru-baru ini, pemberi pinjaman First Republic Bank mengalami kebangkrutan karena simpanan di bank tersebut anjlok. Hal ini menambah panjang bank AS yang bangkrut setelah Sillicon Valley Bank. Dilansir CNN, menurut pengamat, First Republic dan Silicon Valley Bank dengan tipe sama, mereka mengandalkan nasabah kaya raya yang memiliki saldo kas besar baik individu maupun bisnis. Tetapi hal itulah yang menjadi malapetaka saat pasar bergejolak.
"Para deposan ini sangat rentan terhadap pemicu. Mereka canggih, mereka tahu bahwa mereka memiliki pilihan lain, dan mereka memiliki mekanisme untuk memindahkan uang dengan cepat," kata Patricia McCoy, seorang profesor hukum di Boston College, mengatakan kepada CNN bulan lalu dikutip Rabu (3/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kabangkrutan First Republic dibuktikan saat bank tengah melaporkan kinerja keuangan pada kuartal I 2023. Mereka mengungkap bank telah kehilangan 40% simpanan atau sekitar US$ 100 miliar. Jatuhnya First Republic Bank ini merupakan kegagalan bank kedua terbesar dalam sejarah AS dan yang ketiga sejak Maret,
Bahkan, setelah JPMorgan Chase mengambil alih First Republic Bank, justru saham bank-bank di Amerika Serikat turun tajam. Sebab, para investor khawatir krisis perbankan yang mencengkram pasar keuangan belum selesai.
Dilansir BBC, Rabu (3/5) para pemegang saham kehilangan seluruh sahamnya dan kini sedang mencari bank-bank dengan risiko rendah.
PacWest Bancorp, sahamnya merosot hingga 28%. Lalu, saham di Western Alliance juga turun hingga 15%.
Pergolakan terjadi sejalan dengan sektor bank yang menyesuaikan tingginya kenaikan suku bunga. Bank sentral AS telah menaikkan batas suku bunga acuan dari mendekati nol pada Maret lalu menjadi 4,75%. Adapun, diperkirakan bank sentral AS akan mengumumkan kenaikan suku bunga 0,25% pada minggu ini.
Langkah tersebut dapat berdampak ke ekonomi AS, terutama sektor perbankan karena bisnis dan rumah tangga akan mengalami kesulitan untuk membayar utang.
Para analis juga khawatir risiko yang mengintai bank di sektor properti komersial yang telah terpukul oleh penurunan permintaan ruang kantor karena banyaknya yang menerapkan kerja jarak jauh.
Adanya kenaikan suku bunga telah membuat beberapa bank berada dalam posisi sulit. Terlebih dengan tingginya suku bunga merugikan nilai pasar dari beberapa utang yang diterbitkan ketika biaya pinjaman lebih rendah.
Sebelumnya bank Silicon Valley juga bangkrut
Sebelumnya, Silicon Valley Bank (SVB) juga dinyatakan bangkrut pada Maret 2023. Penyebab bangkrutnya SVB dimulai dengan The Fed yang menaikkan suku bunga. Hal tersebut menyebabkan naiknya biaya pinjaman hingga melemahkan momentum saham teknologi yang selama ini menguntungkan SVB.
Suku bunga tinggi juga menyebabkan obligasi jangka panjang milik SVB dan bank lainnya terkikis. Di saat bersamaan, modal ventura juga mulai mengering sehingga memaksa para pemula menarik dana yang dipegang oleh SVB.
Pada 8 Maret 2023, SVB mengambil langkah jual rugi banyak sekuritas dan akan menjual US$ 2,25 miliar saham baru demi menopang neracanya. Hal ini memicu kepanikan di antara perusahaan modal ventura utama yang kemudian menyarankan untuk menarik uang mereka dari bank.
Tak lama, saham SVB anjlok dan pada Jumat (8/3) perdagangan saham SVB dihentikan. Bangkrutnya SVB sempat menggemparkan dunia, bahkan memicu bank-bank lain juga ditutup, salah satunya Signature Bank yang berbasis di New York, AS.
Lembaga penjamin simpanan AS atau Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) memutuskan untuk mengambil alih Signature Bank yang memiliki aset US$ 110,36 miliar dan deposito US$ 88,59 miliar pada akhir 2022.
"Semua deposan Signature Bank dan Silicon Valley Bank akan menjadi utuh dan tidak ada kerugian yang akan ditanggung oleh pembayar pajak," kata Departemen Keuangan AS dan regulator bank lainnya dalam pernyataan bersama dikutip dari Reuters, Selasa (14/3/2023) lalu.
Selain bangkrut, rapuhnya sistem keuangan AS juga ditandai dengan berbagai perusahaan finansial yang melakukan PHK massal. Contohnya Morgan Stanley yang mau melakukan PHK di kuartal kedua tahun ini sebanyak 3.000 orang, setelah sebelumnya memangkas sekitar 2% pegawainya pada Desember 2022 lalu.
Selain itu, ada juga bank lainnya yang melakukan PHK, yaitu Goldman Sachs. Bank tersebut melakukan PHK terhadap 3.200 pekerja pada bulan Januari 2023. PHK itu dilakukan di tengah kemerosotan dalam aktivitas pembuatan kesepakatan global.
Hal ini semakin memperkuat adanya asumsi bahwa sektor perbankan di AS sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja atau mulai rapuh.
Di sisi lain, terdapat sejumlah perusahaan lain yang melakukan PHK untuk memangkas biaya pengeluaran. Contohnya seperti Alphabet-Google, Microsoft, 3M Co hingga Amazon.