Mendorong Konsolidasi Bank Syariah Melalui Spin-off UUS

Kolom

Mendorong Konsolidasi Bank Syariah Melalui Spin-off UUS

Abdul Mongid - detikFinance
Selasa, 22 Agu 2023 13:36 WIB
Illustrasi Uang Rupiah dan Dollar
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja mengeluarkan ketentuan baru terkait dengan bagaimana mendorong perkembangan perbankan syariah di Indonesia agar makin cepat. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.12/POJK/2023 mengatur dan memandu bagaimana pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS) dari perbankan induk (bank Konvensional) dilakukan agar menjadi entitas baru tersendiri dan terpisah.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong agar perbankan syariah dapat berkembang lebih pesat melalui penguatan modal agar memiliki daya tahan dari guncangan ekonomi. Peraturan yang dikenal di publik sebagai POJK UUS diperlukan sebagai katalisator dan sarana untuk memperkuat kelembagaan dan peningkatan kinerja UUS.

Tujuan ini seiring dengan masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (MAKSI) di mana dinyatakan keuangan syariah Indonesia harus terus meningkatkan daya saing dengan mempromosikan persaingan yang sehat antara institusi keuangan konvensional dan syariah dengan berfokus pada inovasi produk, kualitas pelayanan, dan efisiensi melalui skala ekonomi dan lapangan bersaing yang sama (level playing field).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan jika perlu keuangan syariah diberikan perlakuan yang lebih favourable karena merupakan sektor afirmasi.

Ternyata semangat POJK UUS untuk mendorong penguatan perbankan syariah ini juga merupakan perwujudan dari amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Keterkaitan POJK UUS khususnya dalam hal penguatan permodalan dan efisiensi UUS, penguatan kepengurusan UUS, dan penyempurnaan ketentuan terkait persyaratan dan proses pemisahan UUS yang diselaraskan dengan strategi konsolidasi perbankan.

ADVERTISEMENT

Permodalan

Ketentuan terkait dengan permodalan bagi UUS sangat menarik untuk dikaji. Berdasar ketentuan ini maka bank umum yang akan membuka Unit Usaha Syariah baru diharuskan untuk menyediakan dana usaha atau modal sebesar minimal satu triliun rupiah.

Sementara untuk UUS yang sudah beroperasi maka dana usaha atau modal harus mencapai Rp 500 miliar pada akhir 2023. Selanjutnya berdasarkan POJK UUS, pada akhir 2024 harus mencapai satu triliun rupiah.

Untuk memberi kesempatan agar waktunya relatif banyak, POJK UUS juga menyatakan untuk bank BPD, timeline diperpanjang satu tahun lebih lama sehingga pencapaian modal Rp. 500 miliar baru dilakukan pada 2024. Sementara UUS milik BPD harus memiliki dana usaha paling sedikit menjadi satu triliun rupiah pada 2025.

Ini untuk mengakomodasi proses penambahan modal melalui mekanisme anggaran (APBD) yang umumnya rumit. Yang menarik dari peraturan baru ini adalah untuk mengakomodasi upaya bank milik Pemerintah Daerah untuk membentuk UUS baru, OJK dapat memberi kelonggaran jumlah dana usaha atau modal jika alasan-alasan yang rasional dapat disampaikan ke OJK.

Mengacu pada POJK No.12/03/2021, bank dikelompokkan berdasarkan modal inti yang dimiliki. Berdasarkan POJK ini, klasifikasi bank menjadi empat Kelompok Bank Modal Inti (KBMI) di mana KBMI 1 adalah bank yang sampai Rp 6 triliun.

KBMI 2 adalah bank dengan modal inti Rp 6 sampai dengan Rp 14 triliun. KBMI 3 adalah kelompok bank dengan modal inti Rp 14 triliun sampai Rp 70 triliun. Yang terbesar adalah KBMI 4 yaitu kelompok bank dengan modal inti di atas Rp 70 triliun.

Praktis kalau dilihat dari angka ini hanya Bank Syariah Indonesia (BSI) yang masuk ke kategori KBMI 3 karena memiliki modal di atas Rp 20 triliun. Tidak ada satupun bank syariah masuk KBMI 4.

Lanjut ke halaman berikutnya

Walaupun pertumbuhan sektor perbankan syariah Indonesia mencapai 15% setahun dalam beberapa tahun terakhir, namun pangsa pasarnya masih di bawah 10%. Tepatnya total pangsa pasar Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah baru mencapai 7,08% dari total sektor perbankan berdasarkan data tahun 2022.

Pangsa pasar ini cukup rendah bila dibandingkan dengan porsi bank syariah di negara yang penganut agama Islam mayoritas. Seperti diketahui di Malaysia sudah mencapai di atas 34%. Bahkan menurut Fitch Rating, pertumbuhan pembiayaan syariah di Malaysia akan terus mengungguli bank konvensional.

Hal ini terjadi karena ekosistem keuangan syariah yang mendukung dan peralihan Malaysia menuju layanan keuangan yang sesuai Syariah sebagai keputusan politik. Malaysia saat ini memiliki pasar perbankan syariah terbesar ketiga di dunia, dengan pembiayaan syariah mencapai sekitar 41% dari total pinjaman sistem perbankan di sana.

Pengembangan Perbankan Syariah memiliki tujuan ganda yaitu untuk mendorong inklusi keuangan syariah masyarakat. Dengan mengembangkan perbankan syariah diharapkan akan meningkatkan akses masyarakat baik untuk tabungan maupun untuk pembiayaan.

Seperti diketahui, saat ini kemampuan bank syariah untuk melayani kebutuhan layanan keuangan syariah secara menyeluruh di Indonesia belum dapat dilakukan. Ini karena keterbatasan jumlah bank syariah dan unit layanan yang bisa melayani di daerah-daerah khususnya di mana kegiatan ekonomi muslim berada.

Sebagai negara dengan umat muslim terbanyak, tentu saja secara politis perlu untuk menjadikan Bank Syariah sebagai soko guru perbankan dan ekonomi nasional.

Dalam rangka mempercepat perkembangan dan peran perbankan syariah, OJK sebagai otoritas perbankan mencoba melakukan pendekatan yang sedikit beda dalam menambah jumlah bank syariah di Indonesia.

POJK UUS ini memberi ruang bagi terciptanya bank syariah baru karena bank umum konvensional yang memiliki UUS di mana nominal kegiatan bisnis syariah atau memiliki porsi atau share asetnya sudah lebih dari 50% maka wajib melakukan spin-off menjadi Bank Syariah terpisah.

Demikian juga bagi UUS yang sudah memiliki aset di atas Rp 50 triliun juga wajib melakukan spin-off menjadi Bank Syariah terpisah. Untuk mencegah bank menunda-nunda', OJK menetapkan bahwa paling lama dua tahun setelah tercapainya dua kriteria di atas maka ketentuan ini wajib dijalankan.

Selain dari sisi suplai, pengembangan perbankan syariah harus mengedepankan sisi permintaan di mana aspek konsumen harus diperhatikan. Kurang dominannya pasar perbankan syariah mengindikasikan bahwa minat masyarakat menggunakan bank syariah relatif kurang dibandingkan dengan bank konvensional.

Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022, ditemukan bahwa tingkat literasi keuangan syariah masih rendah hanya mencapai 9,14%. Sementara untuk indeks inklusi keuangan syariah mencapai 12,12%.

Artinya dibandingkan dengan literasi keuangan secara umum yang mencapai 85,10%, ada pekerjaan besar untuk menaikkan literasi dan inklusi keuangan syariah melalui edukasi dan kampanye yang masif. Berdasarkan riset ADB Institute, literasi keuangan merupakan faktor intrinsik yang mempengaruhi dan memotivasi masyarakat untuk mencari informasi dan bertindak berdasarkan apa yang mereka ketahui.

Saat ini telah terbentuk mitra strategi di daerah untuk pengembangan ekonomi syariah di Daerah. Komite Daerah Ekonomi Dan Keuangan Syariah (KDEKS) yang merupakan organisasi di bawah Pemerintahan Propinsi / Gubernur yang bertugas melakukan koordinasi bagaimana melakukan penguatan dan pengembangan ekonomi syariah di daerah.

Saat ini sudah terbentuk 26 KDEKS di seluruh Indonesia. Dengan tambahan Mitra strategis ini maka diharapkan sinkronisasi dan kolaborasi antara Pemerintah Daerah, OJK, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Kementerian Agama, KNEKS dan KDEKS dapat mempercepat Pengembangan ekonomi syariah umumnya dan Perbankan Syariah khususnya di Indonesia untuk kemaslahatan masyarakat.


Abdul Mongid
Gurubesar UHW Perbanas
Wakil Direktur Eksekutif KDEKS Jawa Timur



Simak Video "UUS Maybank Indonesia Dorong Keuangan Syariah Berkelanjutan"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads