Muliyati menghitung uang sen Malaysia yang ia dapatkan dari hasil berdagang. Tak ketinggalan, pecahan ringgit beberapa lembar juga ia keluarkan dari isi dompetnya.
Muliyati merupakan warga asli Indonesia yang mencoba peruntungannya dengan membuka warung makan di kawasan perbatasan. Warungnya ia beri nama Warung Perbatasan. Jaraknya hanya 5 meter dari Patok Perbatasan Indonesia-Malaysia.
Warung Perbatasan sendiri terletak di kawasan negara Malaysia. Oleh karena itu, produk-produk yang dijualnya, mulai dari minuman kopi hingga teh merupakan produk asli Malaysia. Tak ketinggalan aneka lauk pauk juga tersaji selayaknya Warteg di Ibu Kota. Hal ini menjadi salah satu daya tarik yang membuat orang senang datang ke sana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini kopi Malaysia. Produk Malaysia semua. Kayak Milo, semua (minuman rasa), beda rasa susunya. Milo Indonesia rasanya pait-pait pekat. Yang Malaysia manis, Indonesia juga manis. Tapi susu kita rasanya beda. Dia kalau dicampur susu tidak terasa, kalau yang Malaysia dicampur susu langsung terasa," kata Muliyati, sembari menyajikan kopi, di warungnya, Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, Sabtu (24/2/2024).
Muliyati mengatakan, Pulau Sebatik masih menggunakan dua mata uang. Selain karena pulau ini terletak di dua negara, ternyata ringgit masih populer lantaran produk-produk Malaysia, khususnya sembako lebih laku dijual ketimbang produk lokal sendiri.
"Dua-duanya saya pakai buat belanja (ringgit dan rupiah). Kalau di toko di sana, Sungai Nyamuk, 100% rupiah. Cuma di sini aja, yang perbatasan (pakai ringgit juga)," jelasnya.
Oleh karena itu, tak sedikit dari pelanggannya yang berbelanja dengan menggunakan rupiah, tetapi minta kembalian dengan menggunakan ringgit. Begitu pula sebaliknya.
![]() |
"Sering, beli pakai rupiah minta kembalian ringgit. Kebalikannya juga," ujarnya.
Di jajaran harga sembako sendiri, selisih antara harga produk keluaran Malaysia dan Indonesia terbilang cukup jauh. Muliyati mengatakan, produk beras Indonesia harganya bisa sampai Rp 130 ribu per 10 kg. Sedangkan harga beras Malaysia jauh di bawahnya, hanya sekitar Rp 90 ribuan.
Tidak hanya itu, menurutnya masyarakat perbatasan juga lebih memilih produk sembako lainnya seperti minyak, sayur mayur, hingga buah-buahan dari Malaysia karena akses dan ketersediannya yang lebih cepat ketimbang menjangkau produk-produk Indonesia di bagian daerah lain.
"Lebih murah, lebih enak dapatnya daripada dari Surabaya (distributor barang). Tapi cintanya tetap Indonesia," kata Muliyati.
Di samping itu, tidak sedikit pula warga Malaysia yang berbelanja ke kawasan Indonesia. Oleh karena itu, para pedagang Indonesia tidak sedikit yang menerima ringgit. Muliyati mengatakan, meski dulunya ringgit aktif digunakan hingga di seluruh pulau, namun semakin ke sini penggunaannya semakin berkurang. Kini, peredaran ringgit dominannya berada di daerah perbatasan.
Hal ini serupa juga disampaikan oleh Saptani, salah satu pemilik toko kelontong di Pulau Sebatik. Meski tokonya berjarak sekitar 1-2 km dari perbatasan, tokonya masih kerap menerima ringgit. Stigma tentang dua mata uang masih melekat di masyarakat.
Apalagi mengingat masyarakat dari kedua negara tinggal di kawasan yang sama sehingga transkasi dua mata uang kerap kali tak bisa terhindarkan. Meski begitu menurutnya, transaksi menggunakan rupiah jauh lebih banyak ketimbang dengan menggunakan ringgit.
"Bisa pakai ringgit, dua mata uang. Tapj masih banyakan rupiah (transaksi)," ujar Saptani, ditemui terpisah.
(shc/das)