Independensi bank sentral adalah landasan kebijakan moneter yang efektif. Indepedensi tersebut memastikan keputusan ekonomi dibuat berdasarkan indikator ekonomi daripada sekadar tekanan politik. Bank Indonesia (BI) adalah lembaga independen sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999.
Namun, perkembangan terbaru, terutama usulan Program Pengalihan Utang Rp100 triliun antara Pemerintah Indonesia dan BI tahun ini, menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana independensi ini ke depan.
Quantitative Easing melalui Program Burden Sharing di Pandemi COVID-19
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia, seperti banyak negara lainnya, menghadapi tantangan ekonomi selama pandemi COVID-19. Untuk mengatasinya, pemerintah dan BI melaksanakan Program Burden Sharing untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Program ini melibatkan BI, yaitu BI membeli obligasi yang dikeluarkan pemerintah.
Secara efektif program ini mencetak uang untuk membiayai pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan area penting lainnya. Antara tahun 2020 dan 2022, BI menyuntikkan dana sebesar US$ 69 miliar (Rp 1.105 triliun) ke dalam perekonomian melalui skema ini.
Awalnya, Bank Indonesia menolak Program Burden Sharing ini. Namun, pernyataan Presiden Jokowi tentang perlunya berbagai lembaga negara untuk 'berbagi beban', mengindikasikan tekanan kepada BI untuk mendukung inisiatif pemerintah. Meskipun penting dalam menangani kebutuhan ekonomi yang mendesak, program ini mengaburkan batas antara kebijakan fiskal dan moneter. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran terkait independensi Bank Indonesia.
Per Juli 2024, Bank Indonesia memegang surat berharga pemerintah sebesar 24% dari obligasi pemerintah yang beredar di pasar, senilai US$ 85 miliar (Rp 1.375 triliun). Angka ini melampaui nilai surat berharga pemerintah yang dipegang oleh bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan manajer investasi. Saat ini, BI adalah pemegang surat berharga pemerintah yang terbesar.
Usulan Program Pengalihan Utang (Debt-Switching) Rp 100 Triliun
Pada tahun 2025 ini, banyak pinjaman dari Program Burden Sharing yang jatuh tempo. Namun, saat ini Indonesia sedang menghadapi kendala fiskal, dengan defisit sebesar 2,29% dari PDB. Maka dari itu, pemerintah mengusulkan Program Pengalihan Utang. Inisiatif ini melibatkan pertukaran obligasi yang jatuh tempo dengan obligasi baru bertenor lebih panjang.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, telah menyatakan dukungannya untuk inisiatif ini. Ia menekankan kesesuaian program ini dengan mekanisme pasar dan tujuan ekonomi pemerintah yang lebih luas.
Namun, usulan ini telah memicu perdebatan. Mengelola utang nasional sangat berbeda dengan menangani utang korporasi. Ada peraturan yang mencegah pertukaran utang langsung antara pemerintah dan Bank Indonesia.
Banyak kritik yang menyatakan bahwa tindakan ini dapat semakin mengkompromikan independensi BI karena melibatkan pemberian bantuan keuangan langsung kepada pemerintah. Selain itu, kerangka hukum, yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 2002, membatasi kemampuan pemerintah untuk melakukan pertukaran utang tanpa mematuhi prosedur tertentu, seperti penawaran awal di pasar primer.
Dengan adanya Debt-Switching, setiap utang yang dimiliki BI pada dasarnya adalah utang pemerintah. Akibatnya, utang BI mungkin tidak digunakan untuk menjaga stabilitas moneter, melainkan untuk mengatasi defisit fiskal.
Lanjut ke halaman berikutnya
Kendala hukum yang diuraikan dalam UU No. 24/2002 jelas, yaitu pemerintah harus membayar utangnya pada saat jatuh tempo, dengan dana yang dialokasikan dalam anggaran nasional (APBN). Oleh karena itu, pengalihan utang, sebagaimana diusulkan, dapat dianggap sebagai upaya untuk menghindari persyaratan hukum ini, yang berpotensi merusak disiplin fiskal.
Implikasi ekonominya sangat besar. Jika Bank Indonesia terus membeli obligasi pemerintah, BI mungkin kekurangan fleksibilitas yang diperlukan untuk menjaga stabilitas harga, yang merupakan mandat utamanya. Selain itu, tindakan ini dapat mempengaruhi nilai tukar karena peningkatan jumlah uang beredar dapat menyebabkan depresiasi rupiah. Tantangan dalam menjaga nilai tukar ini terlihat pada nilai dolar AS, yang ditutup di Rp 16.267 pada akhir 2024, jauh melebihi target pemerintah sebesar Rp 15.000.
BI yang Dependen Dapat Mengakibatkan Berkurangnya Kepercayaan Investor
Tantangan bagi BI adalah menyeimbangkan perannya sebagai otoritas moneter independen dengan kebutuhan untuk mendukung tujuan ekonomi pemerintah. Program Burden Sharing awalnya adalah respons yang diperlukan terhadap krisis akibat COVID-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya. Melanjutkan langkah serupa dapat menjadi preseden yang merusak otonomi BI dan kepercayaan investor.
Investor mengamati tindakan bank sentral dengan cermat. Setiap kompromi terhadap independensi BI dapat menyebabkan ketidakpastian dan mengurangi kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia.
Selain itu, beban kebijakan debt-sharing saat COVID-19 kemungkinan akan jatuh pada pemerintahan berikutnya. Perlu diingat, antara tahun 2014 dan 2024, utang Indonesia meningkat secara dramatis dari US$ 163 miliar (Rp 2.600 triliun) menjadi US$ 544 miliar (Rp 8.700 triliun). Peningkatan yang signifikan ini menyoroti pentingnya manajemen fiskal yang bijak untuk memastikan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Untuk mempertahankan independensinya, BI harus memastikan bahwa keterlibatannya dalam pembiayaan pemerintah bersifat sementara dan transparan. Komunikasi yang jelas dengan publik dan pasar keuangan sangat penting untuk mengelola ekspektasi dan mempertahankan kredibilitas. Selain itu, pemerintah harus bekerja lebih keras untuk mengelola defisit anggaran daripada terlalu bergantung pada Bank Indonesia untuk pembiayaan.
Ada kebutuhan mendesak untuk langkah-langkah fiskal yang lebih kuat untuk mengatasi defisit dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Tanpa tindakan yang memadai di sisi fiskal, beban utang akan terus bertambah, yang berpotensi membahayakan stabilitas ekonomi di masa depan.
Dipo Satria Ramli
Mahasiswa Doktoral Ekonomi Universitas Indonesia
Simak Video "Video: Tok! DPR Pilih Ricky Perdana Gozali Jadi Deputi Gubernur BI"
[Gambas:Video 20detik]
(ang/ang)