Payment ID: Efisiensi Sistem Pembayaran atau Jalan Sunyi Menuju Surveillance Government?

Kolom

Payment ID: Efisiensi Sistem Pembayaran atau Jalan Sunyi Menuju Surveillance Government?

Riant Nugroho - detikFinance
Senin, 04 Agu 2025 22:53 WIB
Ilustrasi Bank Indonesia, lgo bank indonesia, bi, gedung bank indonesia di Jakarta
Ilustrasi.Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikFinance
Jakarta -

Pada 17 Agustus 2025, Indonesia akan meluncurkan sistem Payment ID sebagai bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 yang dirancang Bank Indonesia (BI).

Sistem ini bertujuan menyatukan semua transaksi digital dalam satu identitas pembayaran yang terhubung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), serta membuka jalur integrasi dengan sistem perpajakan nasional.

Secara teknokratis, langkah ini dianggap revolusioner. Payment ID diklaim akan meningkatkan efisiensi, mempercepat digitalisasi ekonomi, memperkuat kepatuhan pajak, dan memudahkan integrasi berbagai kanal pembayaran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun di balik keunggulan administratif tersebut, tersimpan persoalan mendasar: potensi pengawasan negara yang melampaui batas.

Ini bukan sekadar transformasi digital, tetapi gejala munculnya "surveillance government"-negara yang secara sistematis memantau dan menganalisis perilaku ekonomi warganya; negara yang menganggap semua warganya adalah jahat, alih-alih "melindungi", atau di Eropa Lama disebut sebagai Police State atau negara polisi, istilah yang merujuk pada negara menggunakan yang kekuasannya secara represif dan luas untuk mengendalikan warganya; hukum digunakan bukan untuk melindungi hak warga negara, tetapi membatasi kebebasan, mengawasi perilaku, dan mengintervensi kehidupan pribadi.

ADVERTISEMENT

Surveillance Capitalism dan Ekspansinya ke Negara

Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism (2019) memperkenalkan istilah surveillance capitalism untuk menggambarkan praktik perusahaan teknologi dalam mengumpulkan dan mengeksploitasi data pengguna demi keuntungan ekonomi.

Menurut Zuboff, kapitalisme abad ke-21 telah berubah: perilaku manusia dijadikan komoditas, diprediksi, dan dimanipulasi lewat algoritma.

Namun Zuboff juga memperingatkan, jika praktik pengumpulan data ultra-dalam ini dilakukan oleh negara, maka akan muncul kekuasaan baru yang jauh lebih berbahaya: instrumentarian power, yaitu bentuk kekuasaan yang tidak membunuh atau melarang, tetapi mengendalikan melalui data, tanpa persetujuan aktif subjeknya.

Apa yang diuraikan Zuboff kini semakin relevan ketika Payment ID menggabungkan tiga kekuatan sekaligus: identitas kependudukan (NIK), data transaksi digital, dan instrumen perpajakan. Dengan Payment ID, negara bukan hanya pengatur, melainkan juga pengamat utama kehidupan ekonomi warganya.

Pemerintah yang Mengamati Segalanya

Data yang akan dihimpun oleh Payment ID sangatlah masif. Laporan Bank Indonesia tahun 2024 mencatat lonjakan signifikan dalam transaksi digital Indonesia. Transaksi uang elektronik mencapai Rp 640 triliun, naik 24,3% dari tahun sebelumnya.

Pengguna aktif QRIS sebanyak 47 juta orang, dengan 38 juta merchant terdaftar. Transaksi e-commerce menembus Rp 640 triliun, dengan pertumbuhan tahunan 18%.

Dalam sistem Payment ID, data ini akan tertaut ke identitas tunggal warga (NIK), sehingga memungkinkan negara melihat pola pengeluaran individu: berapa sering belanja, ke mana uang mengalir, siapa yang menerima, dan dalam konteks apa.

Jika tidak disertai dengan batasan yang ketat, sistem ini bisa membentuk arsitektur kekuasaan yang menyerupai "panoptikon digital", seperti yang dijelaskan Michel Foucault.

Individu akan hidup dalam kesadaran bahwa setiap tindakannya terekam, dan karena itu secara sukarela mulai membatasi diri, meskipun belum ada sanksi formal.

Kondisi semakin serius, karena Pemerintah dapat juga "mengincar" pendapatan pajak dari transaksi elektronik yang didapat. Dalam kondisi kebutuhan pendapatan negara yang akut, sangat dimungkinkan data tersebut didayagunakan untuk data perpajakan.

Risiko Demokrasi dan Keadilan Sosial

Pengawasan total terhadap perilaku ekonomi warga negara menyimpan sejumlah risiko sosial dan politik. Pertama, kehilangan privasi ekonomiTransaksi keuangan adalah ekspresi kebebasan individu. Ketika negara bisa mengakses semuanya, maka ruang otonomi warga menjadi sempit. Kedua, Pemetaan dan diskriminasi.

Seperti diingatkan oleh Solon Barocas (Cornell University), sistem berbasis identitas tunggal dan algoritma prediktif bisa menyebabkan automated inequality. Pemerintah dapat menyusun kebijakan atau intervensi yang diskriminatif berdasarkan profil risiko ekonomi, wilayah, atau bahkan kebiasaan konsumsi individu.

Ketiga, chilling effect. Ketika warga tahu bahwa aktivitas ekonominya diawasi, mereka cenderung membatasi tindakan-misalnya enggan menyumbang ke lembaga tertentu atau melakukan transaksi informal yang sah secara hukum tapi sensitif secara politik atau sosial. Keempat, potensi politisasi data.

Dengan sistem yang begitu terintegrasi, siapa yang mengontrol Payment ID berarti memiliki kendali sosial dan ekonomi tingkat tinggi. Tanpa lembaga pengawasan independen, hal ini bisa disalahgunakan.

Demokrasi, yang menjadi amanat reformasi dari rakyat pada 1998, dan keadilan sosial, yang diamanatkan konstitusi melalui sila ke lima Pancasila, sedang dalam tantangan dan risiko.

Lemahnya Proteksi Institusional

Indonesia telah memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27/2022), tetapi implementasinya masih minim. Belum ada otoritas perlindungan data yang benar-benar independen. Struktur saat ini menempatkan perlindungan data dalam payung eksekutif, padahal justru eksekutif-lah yang menjadi aktor utama pengumpul data.

Selain itu, prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan data seperti purpose limitation, data minimization, right to be forgotten, dan consent-based use, belum menjadi kebiasaan kelembagaan dalam sistem pemerintahan digital Indonesia.

Transformasi digital di sektor publik memang tidak bisa dihindari. Namun, kecepatan inovasi tidak boleh melampaui kemampuan negara dalam membangun prinsip-prinsip demokrasi digital. Payment ID harus dilandasi oleh prinsip sebagai berikut.

Pertama, keterbukaan dan partisipasi publik. Desain dan evaluasi sistem harus melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan organisasi perlindungan konsumen.

Kedua, kelembagaan pengawasan yang independen. Diperlukan lembaga pengawas data digital nasional yang tidak tunduk kepada lembaga eksekutif, dengan kewenangan menyelidiki, mengaudit, dan memberi sanksi.

Ketiga, audit etis berkala. Keempat, Setiap pengembangan fitur atau perluasan penggunaan Payment ID harus melalui audit etis dan risiko, dengan laporan publik yang dapat diakses masyarakat.

Kelima, penguatan literasi data warga. Masyarakat harus tahu data apa yang mereka berikan, bagaimana digunakan, dan bagaimana melindunginya.

Keenam, batas-batas penggunaan data, termasuk tidak untuk memata-mataikan warganegara untuk kepentingan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.

Penutup: Teknokrasi atau Demokrasi Data?

Payment ID bukanlah sekadar inovasi sistem pembayaran. Ia adalah refleksi dari bagaimana negara ingin mengelola kekuasaan di era digital: apakah melalui transparansi dan partisipasi, atau melalui pengawasan diam-diam yang menyamar sebagai efisiensi?

Tanpa pengawasan independen, tanpa akuntabilitas yang kuat, dan tanpa partisipasi warga, Payment ID berpotensi menjadi infrastruktur kontrol sosial terbesar yang pernah dibangun oleh negara. Bukan untuk melayani, tapi untuk mengawasi dan mengarahkan perilaku warga-sesuatu yang tak pernah ditawarkan dalam pemilu atau dibicarakan dalam konsultasi publik.

Nampaknya, kita perlu secara kritis, positf, dan konstruktif agar jalan sunyi menuju surveillance government tidak menjadi kenyataan -tanpa kita sadari.

(hns/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads