Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia harusnya mampu menggenjot penetrasi bank syariah lebih luas lagi. Namun, kenyataannya justru berbeda di lapangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat penetrasi layanan keuangan syariah masih tertinggal ketimbang sistem keuangan konvensional. Menurut data dari OJK per Desember 2024, market share perbankan syariah hanya mencapai 7,72%.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) dan OJK melalui hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 mencatat, indeks literasi dan inklusi keuangan syariah masing-masing sebesar 43,42% dan 13,41%. Angka ini terbilang rendah jika dibandingkan dengan keuangan konvensional, yang masing-masing angkanya 66,45% dan 79,71%. Angka ini menunjukkan disparitas yang besar, di negara yang mayoritas beragama Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Utama Bank Muamalat, Imam Teguh Saptono, mengatakan bahwa angka literasi dan inklusi berbanding terbalik dengan konvensional. Teguh menilai, meskipun sudah ada banyak orang yang tahu keuangan syariah, tetapi tingkat implementasi dalam keseharian tergolong masih rendah.
"Nah, ini uniqueness-nya disini. Artinya, komunitas dalam hal ini industri, termasuk pelakunya, termasuk pengawasnya itu sudah berhasil meningkatkan awareness. Tapi gagal untuk mengajak masyarakat untuk menggunakan produknya. Nah, gap ini yang harusnya dicari tahu apa sebabnya. Bisa jadi karena tingkat compatibility daripada produk syariah yang belum memadai, aksesibilitas yang mungkin sulit, atau memang awareness yang dimaksud itu tidak mampu mengubah paradigma. Ini yang harus dicari. Jadi, jangan-jangan memang saat ini awareness yang dimunculkan itu syariah hanya sebagai lingkup produk saja," ujar pimpinan dari bank syariah tertua di Indonesia itu kepada detikcom, di Muamalat Tower, Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Imam menilai, cara perbankan syariah dalam membawa 'nafas' syariah selama ini kurang tepat. Menurutnya, perbankan syariah dibentuk sebagai substitusi dari perbankan konvensional. Padahal, ada paradigma yang lebih dalam dari sekadar soal penerapan keuangannya saja.
"Harusnya kembali ke khittah (landasan)-nya, bahwa syariah itu konsepnya yang harus diubah adalah paradigmanya. Jadi, start-nya itu dengan halal-haram, start-nya itu dengan keberkahan, dan seterusnya. Nah, kenapa ini tidak dikerjakan atau mungkin miss (terlewat) dikerjakan, karena bank syariah maupun bank konvensional masih dikenakan KPI (key performance indicator) yang sama," terang Imam.
Idealnya, kata Imam, perbankan syariah harusnya juga bergerak dalam ranah transformasi paradigma. Selain itu, perlu adanya KPI yang berbeda antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional.
Selama ini, KPI-nya disamakan dengan konvensional, tanpa memperhitungkan paradigma yang melekat dalam perspektif kesyariahan. Ini akhirnya menyebabkan nasabah sulit membedakan antara perbankan syariah dengan konvensional.
"Untuk mendapatkan satu nasabah mungkin lama, atau mungkin dalam hal tertentu, bank syariah harus suffer dengan NIM (nett interest margin) yang mungkin lebih kecil, dan seterusnya. Nah, ini apakah dimungkinkan? Dimungkinkan kalau memang pemilik daripada bank syariah itu sudah memahami bedanya syariah dan konvensional. Sehingga KPI-nya beda, pada saat KPI-nya beda, maka ini yang kemudian bisa membuat performance dan attitude dari bank syariah itu berbeda," bebernya lanjut.
Dari segi aksesibilitas, Imam juga menilai hal ini jadi batu sandungan dalam melebarkan sayap bisnis perbankan syariah hingga ke pelosok negeri. Ini juga menjadi salah satu alasan pentingnya memiliki parameter baru dalam menakar keberhasilan suatu bank syariah. Salah satunya dengan menambahkan aspek kemanusiaan di dalamnya dan tidak bicara bisnis semata.
"Kalau aksesibilitas, memang tingkat presensi bank syariah untuk penetrasi sampai ke daerah-daerah itu masih relatif terbatas. Jumlah kantor cabang dan seterusnya. Tapi itu masih valid untuk remote, tapi kalau untuk di kota harusnya digitalisasi sudah selesai. Kalau soal mahal-murah, kita kembali lihat ke strukturnya, mulai dari skala ekonomi, komposisi DPK-nya (dana pihak ketiga), dan seterusnya itu menyebabkan mahal-murah, bukan haram-halalnya," terangnya.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, kata Imam, pangsa pasar perbankan syariah di sana jauh melesat ketimbang di Indonesia. Dalam hal ini, dukungan dari pemerintah juga penting supaya bisa mendongkrak kesadaran masyarakat soal penerapan keuangan syariah.
Di sisi lain, menurut Imam, Presiden Prabowo Subianto sudah mencanangkan akan menggenjot sektor keuangan syariah yang tercantum dalam Asta Cita. Namun sampai saat ini, belum ada realisasi konkret yang digarap pemerintah dalam menunjukkan keseriusan di sektor keuangan syariah.
"Malaysia sudah 40% market share-nya. Yang membedakan di Malaysia itu government led driven. Nah, government led driven pasti lebih cerdas, pasti lebih punya dampak, punya power. Jadi, kalau buat keputusan, harus dilaksanakan. Masalah masyarakat masih tidak mengerti, karena peraturannya keluar, lama-lama mengerti. Itu tidak nunggu kesepakatan. Nah, sementara di kita, ekonomi syariah itu dari sejak lahirnya itu sifatnya adalah community driven, yang lahir dari bawah," Imam membeberkan.
"Di negara ini baru akan 'manis' itu kalau ada uangnya. Jadi, kalau ditanya kenapa (belum menjadi prioritas)? Ya, karena belum ada uangnya. Kasarnya begini, kapan zakat itu mulai ribut (diperbincangkan)? Pada saat pengumpulan zakat itu sudah mulai besar. Jadi pada saat zakat sudah mulai menyentuh Rp 1 triliun, Rp 2 triliun, Rp 3 triliun baru ramai, baru dilirik, barulah bicara ekonomi zakat, dan seterusnya. Ya, tadi zakat 'kan sekarang sudah menuju Rp 4 triliun baru ramai, baru wakil rakyat udah mulai melihat dan seterusnya," jelas Imam.
Saksikan Live DetikPagi :