Bank Indonesia (BI) bersama Kementerian Keuangan sepakat berbagi beban alias burden sharing untuk mendanai program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Dukungan itu diberikan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder dengan realisasi mencapai Rp 200 triliun.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, dana hasil pembelian SBN tersebut sebagian digunakan pemerintah untuk membiayai program Perumahan Rakyat serta Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih.
"Sinergitas BI dalam Asta Cita berkaitan dengan burden sharing. Kami tetap mendasarkan kebijakan moneter dan fiskal yang prudent. Sampai kemarin, kami sudah membeli SBN Rp 200 triliun," kata Perry dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPD RI secara virtual, Selasa (2/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, apa yang dimaksud burden sharing?
Dilansir dari publikasi Asian Development Bank (ADB) berjudul Indonesia's Fiscal Capacity and Burden-Sharing Scheme: A New Insight from Handling COVID-19, dijelaskan bahwa pemerintah pernah menerapkan kebijakan yang sama pada masa pandemi.
Skema burden-sharing dilakukan untuk membiayai pemulihan ekonomi selama pandemi COVID-19. Dalam skema ini, Kementerian Keuangan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) kepada Bank Indonesia (BI) dengan acuan suku bunga reverse repo.
"Pemerintah membayar bunga/yield sesuai jatuh tempo, tapi di hari yang sama BI mengembalikan bunga itu ke pemerintah sebagai bentuk kontribusi sesuai skema. Sederhananya, ini adalah cara mencetak uang yang kemudian disalurkan ke Kemenkeu untuk mendukung belanja fiskal," jelas publikasi tersebut, dikutip Jumat (5/9/2025).
Ada tiga mekanisme burden-sharing yang dijalankan pemerintah dan BI saat itu. Pertama, seluruh beban ditanggung BI lewat pembelian SBN skema private placement.
Dana ini dipakai untuk pembiayaan barang publik seperti kesehatan, jaring pengaman sosial, dan belanja sektoral, dengan bunga sesuai suku bunga reverse repo BI, namun bunganya dikembalikan sepenuhnya ke pemerintah.
Kedua, pemerintah menjual SBN ke pasar lewat mekanisme pasar, sementara BI menjadi pembeli siaga (standby buyer). Dalam skema ini, BI ikut menanggung selisih bunga dengan kontribusi setara selisih antara suku bunga reverse repo tiga bulan BI dikurangi 1%.
Dana hasil mekanisme ini dipakai untuk pembiayaan nonbarang publik, misalnya untuk UMKM dan koperasi non-UMKM. Ketiga, mekanismenya mirip dengan yang kedua, tapi kali ini seluruh beban ditanggung pemerintah pada tingkat bunga pasar penuh. Dana hasilnya dipakai untuk membiayai belanja nonbarang publik lainnya.
Burden Sharing Bentuk Monetisasi Utang
Dalam literatur ekonomi moneter, skema burden-sharing ini merupakan bentuk sederhana dari monetisasi utang atau seigniorage. Praktiknya, bank sentral membeli obligasi pemerintah secara langsung sehingga pemerintah mendapat dana baru, sementara neraca bank sentral ikut membesar.
Transaksi ini sifatnya sementara karena nantinya bank sentral bisa menghapuskan utang tersebut dari sisi asetnya. Monetisasi utang biasanya dipakai negara yang menghadapi defisit fiskal, ketika kebijakan moneter biasa tidak cukup.
Ada tiga variasi monetisasi: (1) langsung, ketika bank sentral membeli obligasi baru langsung dari pemerintah; (2) tidak langsung, ketika obligasi dibeli di pasar sekunder lewat operasi pasar terbuka; (3) langsung dengan penghapusan utang dari neraca bank sentral.
Secara teknis, monetisasi utang mirip dengan quantitative easing (QE), tapi perbedaannya adalah QE hanya memperbolehkan bank sentral membeli obligasi lama (seasoned bonds), sedangkan monetisasi utang memungkinkan pembelian obligasi baru sebagai sumber pembiayaan langsung.
Independensi Bank Sentral
Penggunaan monetisasi utang untuk menutup defisit fiskal menuai perdebatan dan sering dianggap tabu karena dikhawatirkan bisa mengurangi independensi bank sentral.
Para penentang berargumen bahwa kalau bank sentral terlalu sering membiayai defisit, kebijakan moneter bisa didominasi fiskal, belanja pemerintah jadi tidak terkendali, dan inflasi melonjak.
Namun, di sisi lain, kebijakan fiskal memang berpengaruh besar pada kondisi makroekonomi tempat bank sentral beroperasi. Karena itu, keterlibatan bank sentral dalam pasar obligasi pemerintah masih bisa diterima selama tidak terlalu membebani neraca atau mengganggu independensinya.
Dengan kerja sama yang jelas antara pemerintah dan bank sentral, monetisasi utang diharapkan tidak akan memicu inflasi maupun masalah belanja publik, selama diatur dengan baik.