Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Bank Indonesia (BI) mengganti istilah burden sharing, atau sinergi pendanaan antara pemerintah dan bank sentral, dalam mendukung program strategis nasional.
Perubahan istilah ini dinilai penting untuk menghindari kesalahpahaman bahwa Indonesia tengah menghadapi krisis, sebagaimana saat istilah tersebut digunakan dalam masa pandemi COVID-19.
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyampaikan permintaan ini dalam Rapat Kerja bersama Gubernur BI Perry Warjiyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apakah ada nama lain selain burden sharing? Karena nanti takutnya membingungkan, seolah kita sedang dalam krisis seperti saat COVID dulu. Ini perlu diberikan judul baru agar masyarakat tidak salah paham," ujar Misbakhun.
Ia menambahkan, dalam konteks sekarang yang sudah kembali normal, penggunaan istilah tersebut bisa menimbulkan persepsi negatif di mata publik maupun pelaku pasar.
"Orang Indonesia ini sering mengklasifikasikan sesuatu berdasarkan pengalaman sebelumnya. Kalau dengar burden sharing, langsung ingat masa krisis COVID. Padahal sekarang situasinya berbeda," katanya.
Menanggapi hal itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan bahwa burden sharing yang dilakukan saat pandemi bersifat sementara dan berdasarkan kondisi luar biasa (extraordinary conditions). Ia menegaskan, skema saat ini berbeda karena Indonesia sudah memasuki masa normal, dengan defisit fiskal di bawah 3% dan BI tidak lagi membeli SBN dari pasar perdana, kecuali tenor di bawah 1 tahun.
"Kami cari terminologi baru. Karena saat itu dasar hukumnya kondisi luar biasa. Sekarang sudah normal," jelas Perry.
Perry juga menjelaskan bahwa sinergi BI dengan pemerintah saat ini lebih bersifat dukungan teknis, seperti melalui pemberian tambahan suku bunga atas dana pemerintah yang disimpan di BI.
"Istilah kami adalah tambahan bunga. Karena BI mengelola dana pemerintah berdasarkan undang-undang melalui Treasury Single Account. Remunerasi diberikan 80% dari saldo, dan di atas itu ada tambahan bunga," tuturnya.
Sebelumnya diberitakan, BI bersama Kementerian Keuangan telah sepakat untuk memberikan dukungan pendanaan terhadap program prioritas Presiden Prabowo Subianto melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Nilai realisasinya mencapai Rp200 triliun.
Dana tersebut antara lain digunakan untuk mendanai program Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih.
"Sinergi BI dalam Asta Cita berkaitan dengan burden sharing. Tapi tetap dengan prinsip moneter dan fiskal yang prudent," kata Perry dalam rapat kerja bersama Komite IV DPD RI sebelumnya.
(rrd/rrd)