Ingin Cicil Motor Tapi Gaji Tak Cukup

Ingin Cicil Motor Tapi Gaji Tak Cukup

Mohamad Taufiq Ismail - detikFinance
Sabtu, 29 Jul 2017 09:15 WIB
Ilustrasi dealer motor. Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikFinance
Jakarta - Kemarin saya mendapat broadcast di WhatsApp grup saya mengenai cerita seseorang yang ingin membeli sebuah sepeda motor dengan cara menyicil, namun dia mengalami kesulitan terkait besaran gajinya. Saya tidak tahu ceritanya benar atau tidak, namun layak kita simak untuk kita lihat moral ceritanya, terutama dari sisi perencanaan keuangan, yaitu rasio utang.

Ceritanya tentang seorang karyawan yang ingin membeli motor dengan cara menyicil. Dia sudah mencoba menghitung-hitung sendiri bahwa dengan besaran gaji yang sekarang, kemungkinan besar pengajuan kredit motornya akan ditolak oleh lembaga pembiayaan karena gajinya tidak cukup besar untuk menyicil angsuran bulanan.

Artinya, agar pengajuan kreditnya disetujui, dia harus menambah jumlah down payment agar besar angsuran bulanan bisa menurun dan sesuai dengan syarat yang ditetapkan lembaga pembiayaan. Dan sepertinya saat itu si karyawan tidak memiliki uang tunai cadangan yang cukup untuk menambah down payment.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akhirnya dia mencoba pergi ke bagian payroll perusahaannya untuk meminta bantuan agar bisa dibuatkan sebuah slip gaji fiktif. Yaitu slip gaji dengan jumlah gaji yang diperbesar, sehingga nantinya dia bisa memenuhi persyaratan cicilan dari lembaga pembiayaan.

Jika kita coba telaah satu-persatu atas poin-poin yang terjadi, maka kita dapati fakta berikut:
1. Sebut saja si karyawan adalah A, A hendak membeli motor dengan cara menyicil
2. A adalah karyawan yang memiliki gaji bulanan
3. A memiliki cukup uang untuk membayar down payment minimal
4. A khawatir pengajuan kreditnya ditolak, karena besar gaji tidak sesuai dengan syarat lembaga pembiayaan (artinya A sudah melakukan survei ke lembaga pembiayaan mengenai persyaratannya)
5. A mencoba mendapatkan slip gaji fiktif dengan jumlah gaji yang lebih besar, agar lolos syarat lembaga pembiayaan.

Kalau kita cermati, (kemungkinan) akan ditolaknya pengajuan kredit adalah karena gaji yang tidak memenuhi syarat debt service ratio, yaitu persentase dari pendapatan yang digunakan untuk membayar utang. Biasanya perbankan atau lembaga keuangan menggunakan standar rasio 30-35%. Artinya jika pendapatan A per bulan Rp 10 juta, maka cicilan bulanan yang diperbolehkan adalah Rp 3-3,5 juta.

Ini hanya dari satu poin, pendapatan bulanan. Beberapa faktor lain juga biasanya dilihat oleh lembaga keuangan seperti sejarah pembayaran utang sebelumnya, jumlah PBB, tagihan air, listrik, serta apakah masih memiliki utang di tempat lain, serta apakah dalam pinjaman menyertakan jaminan atau tidak.

Jumlah rasio utang lebih dari 35% apakah bisa tetap berutang? Bisa saja, namun pasti ada pertimbangan, perhitungan, serta persyaratan tertentu lainnya yang telah dilakukan oleh kreditur untuk mengamankan dananya.

Kembali ke cerita di atas, maka rasio utang A (kemungkinan) melewati 35%, sehingga pengajuan kredit A tidak disetujui. A harus menambah down payment agar cicilan bulanan dapat berkurang. Namun sepertinya A tidak memiliki uang tambahan, sehingga A menempuh cara lain, yaitu dengan membuat slip gaji fiktif.

Bagaimana sisi perencanaan keuangan melihat ini? Debt service ratio memang harus dijaga di angka 30-35%. Mengapa? Karena salah satu proporsi umum pembagian dari 100% pendapatan, adalah 10% sedekah/sosial, 20% tabungan/investasi, 30% utang, dan 40% konsumsi. Jika A sudah melakukan pembagian tersebut, maka seharusnya A memiliki tabungan yang cukup untuk menambah down payment. A setidaknya memiliki dana darurat minimal 3x pengeluaran bulanan jika belum berkeluarga. Jika A memiliki dana ini, A dengan mudah dapat menambah jumlah down payment yang dibutuhkan.

Nyatanya A mencoba jalan yang kurang baik, yaitu membuat slip gaji fiktif. Jika A tidak memiliki tabungan yang cukup, artinya rata-rata konsumsi bulanannya cukup besar, kemungkinan lebih dari 40%. Jika A memaksakan menyicil dengan debt service ratio lebih dari 30%, maka besar kemungkinan A akan mengalami kesulitan di konsumsi dan kebutuhan lainnya. Karena jumlah uang yang digunakan untuk konsumsi akan berkurang untuk pembayaran cicilan utang. Entah itu uang makan sehari-hari, SPP anak, transportasi, atau kebutuhan lainnya.

Bagaimana cara mengatasi masalah A? Ada beberapa alternatif, jika sepeda motor merupakan aset produktif bagi A, maka A bisa mempertimbangkan menjual aset yang tidak terpakai di rumah untuk menambah dana down payment. Meminjam tambahan down payment dari pihak lain dengan syarat yang ringan dan fleksibel juga dimungkinkan, misalnya meminjam ke saudara. Tapi ingat, utang tetaplah utang, jangan karena berutang ke saudara lalu tidak dilunasi.

Alternatif lain, memilih sepeda motor yang lebih murah, bisa merek dan jenis lain, atau sepeda motor bekas yang kondisinya masih prima. Jika memang belum memiliki dana cukup, mengapa harus memaksakan punya motor sport atau matic yang mahal? Pilih jenis yang lebih murah, jika tidak cukup juga, beli sepeda motor bekas dari sumber terpercaya. Jika sudah memiliki dana lebih dan memang butuh, bolehlah membeli yang lebih baru.

Berutang itu harus dilakukan secara hati-hati baik dan benar dan itu semua bisa dipelajari. Kalau mau belajar harus ke mana? Bisa ikut workshop yang banyak diberikan baik gratis maupun berbayar. Beberapa yang kami rekomendasikan untuk di Jakarta anda bisa memakai info ini sebagai rujukan, buka di sini http://bit.ly/PMJKT07, untuk Bali buka di sini http://bit.ly/PMBALI dan di sini http://bit.ly/WRDBALI, selain itu di Jakarta akan ada kelas Basic FP info di sini http://bit.ly/BFPJKT2 untuk CPMM Jakarta di sini http://bit.ly/PMJKT02, sementara untuk reksa dana Jakarta di sini http://bit.ly/RDJKT01 berbarengan dengan di Yogya, Solo dan Semarang (JogLoSemar / Jawa Tengah) bisa liat info di sini http://bit.ly/PMJOG17 dan di sini http://bit.ly/RDJOG17.

Nah, Cerita di atas bisa Anda aplikasikan juga untuk mobil, atau barang lainnya. Berutang memang boleh, namun bijaklah dalam berutang. Pertimbangkan apakah Anda memang membutuhkan barang tersebut, atau hanya sekedar menginginkan? Apakah Anda mampu membayar utang Anda kembali? Apakah utang Anda produktif? Atau konsumtif?

(ang/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads