Sebab pasangan yang sebelumnya memiliki harta bersama, harus berpisah dan harus jalan sendiri-sendiri setelahnya.
Perencana Keuangan sekaligus Chairman & President IARFC Indonesia, Aidil Akbar, bahkan mengatakan, dibutuhkan seorang perencanaan perceraian atau divorce planner dalam menghadapi perceraian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kenapa perlu mengatur keuangan dalam menghadapi perceraian dan seperti apa bentuk pengaturannya? Berikut tips lengkapnya dari perencana keuangan.
Dampak Perceraian ke Keuangan Keluarga
|
Foto: Rachman Haryanto
|
Utamanya karena salah satu pasangan akan kehilangan sumber pencari nafkah, lantaran keuangan masing-masing setelah bercerai telah terpisah meskipun ada perjanjian yang mungkin sudah disepakati oleh kedua pasangan.
"Sebetulnya semua kembali ke keluarga itu, siapa yang tadinya pegang uang. Ketika suaminya yang dapat penghasilan, mungkin suami hanya kasih uang belanja saja, sisanya suami yang pegang. Ada orang ketika bercerai, si suami enggak mau lagi teruskan menanggung istri atau anaknya sebagian. Biarpun sudah diperintah pengadilan dan istrinya pun bilang iya-iya saja," katanya kepada detikFinance saat dihubungi di Jakarta, Senin (8/1/2017).
"Jadi ada efeknya terhadap keuangan. Mungkin hilangnya pencari nafkah dalam keluarga, termasuk anak. Terutama si pencari nafkah kalau tidak mau meneruskan menafkahi keluarga. Atau ada juga yang kasih uang hanya khusus untuk anak," tambah Safir.
Antisipasi Keuangan Hadapi Dampak Perceraian
|
Foto: Rachman Haryanto
|
Perencana Keuangan Safir Senduk mengatakan, untuk mengantisipasi dampak ini, kedua pasangan harus tetap memiliki tabungan masing-masing. Karena menurutnya, ada banyak kasus pasangan suami istri yang tidak memisahkan keuangannya masing-masing saat telah berkeluarga.
"Jadi suami dan istri harus punya tabungan sendiri-sendiri, atau juga rekening tabungan untuk membayar pengeluaraan bersama misalnya. Jadi kalau ada apa-apa, misalnya ada yang cedera janji, si istri tetap bisa memenuhi pengeluaran keluarganya," katanya kepada detikFinance saat dihubungi di Jakarta, Senin (8/1/2017).
Selain itu, penting pula bagi pasangan yang sudah menikah tetap memiliki investasi masing-masing alias tidak disamakan dengan kepunyaan pasangan. Tujuannya sama, yakni untuk memitigasi dampak buruk keuangan dari hal-hal seperti perceraian.
"Sebagai suami atau istri, tidak hanya punya rekening tabungan sendiri tapi juga investasi sendiri. Karena sering banget orang lupa untuk berinvestasi terhadap dirinya sendiri karena sudah berkeluarga," tutur dia.
Khusus bagi pasangan yang tidak bekerja, juga penting untuk memiliki keahlian untuk mencari uang sendiri. Hal ini juga untuk memitigasi dampak keuangan dari perceraian tadi.
"Jadi jika sewaktu-waktu dia terpaksa bercerai dan pasangannya memutuskan tidak mau meneruskan menanggung keluarga, maka dia tetap bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan. Enggak harus jadi karyawan. Bisa juga freelancer atau buka usaha sendiri," ucap Safir.
"Kalau yang mau cepat itu, bisa buka usaha sendiri. Usaha yang frekuensi jual belinya kencang tapi untungnya tipis-tipis. Misalnya jualan sembako. Atau bisnis yang orang belinya jarang tapi sekali beli untungnya gede. Misalnya jasa konsultan. Tapi kalau mau cepat untung bisa yang frekuensi jual belinya kencang tapi untungnya tipis-tipis," pungkasnya.
Siapa Tanggung Biaya Pendidikan Anak?
|
Foto: Rachman Haryanto
|
Lantas, siapa sebenarnya yang wajib menanggung biaya pendidikan anak jika terjadi perceraian?
Perencana Keuangan, Safir Senduk mengatakan, hal ini sudah barang tentu menjadi kewajiban suami sebagai kepala keluarga. Namun seringkali pula, kewajiban tersebut tak dituntaskan meski telah menyatakan kesanggupan masing-masing pasangan nantinya akan terpisah saat perceraian.
"Sebetulnya semua kembali ke keluarga itu, siapa yang tadinya pegang uang. Ketika suaminya dapat penghasilan, mungkin suami hanya kasih uang belanja saja, sisanya suami yang pegang. Ada orang ketika bercerai, si suami enggak mau lagi nerusin menanggung istri atau anaknya sebagian. Biarpun sudah diperintah pengadilan dan istrinya pun bilang iya-iya aja," katanya saat dihubungi detikFinance di Jakarta, Senin (8/1/2018).
Untuk itu, pemisahan antara keuangan masing-masing pasangan tadi menjadi perlu, agar masalah pendidikan anak pun bisa ditanggung oleh suami maupun istri. Tujuannya untuk memastikan masa depan anak bisa tetap terjaga.
"Karena kalau ada apa-apa, paling enggak si istri atau suami punya tabungan yang bisa dia gunakan untuk kebutuhan keluarganya. Minimal tabungan masing-masing supaya si pasangan tadinya ini bisa meneruskan hidupnya dari tabungannya itu," ucap dia.
Bisa Kehilangan Rumah dan Diterpa Utang
|
Foto: Tim Infografis: Luthfy Syahban
|
"Bisa saja salah satu pasangan menjadi tidak punya rumah tinggal, atau pun juga harus menopang utang," katanya kepada detikFinance saat dihubungi di Jakarta, Senin (8/1/2018).
Untuk itulah perlu adanya pemisahan harta antara suami dan istri, terutama jika adanya bisnis yang dikelola oleh salah satu antara pasangan tersebut. Gunanya, agar meminimalisir dampak utang terhadap aset rumah tangga yang menjadi pembahasan dalam harta gono-gini.
"Pemisahan harta biasanya dilakukan jika pasangan berbisnis. Sehingga agar utang bisnis tidak mempengaruhi aset rumah tangga. Selain itu, jika status keluarga besar cukup berbeda," ucapnya.
Cara Hitung Harta Gono-gini
|
Foto: Tim Infografis, Luthfy Syahban
|
Perencana Keuangan Aidil Akbar mengatakan, untuk menghitung harta gono-gini, maka harta pasangan harus dipisahkan dulu mana yang harta bawaan dan mana yang merupakan harta bersama atau harta gono-gini.
Harta bawaan adalah harta yang dimiliki masing-masing pasangan sebelum berumah tangga, termasuk dengan harta waris dari masing-masing orang tua. Sementara harta gono-gini atau harta bersama merupakan harta yang diperoleh setelah pasangan suami istri menikah, termasuk rumah maupun kendaraan yang dimiliki setelah menikah.
Setelah dipisahkan antara harta bawaan dan harta gono-gini, baru harta gono-gini bisa dibagi. Berapa besaran pembagiannya?
Perencana keuangan, Prita Ghozi mengatakan, pembagian harta gono-gini menurut hukum perdata adalah 50:50. Pembagian tersebut, berlaku bila tidak ada perjanjian pranikah sebelumnya.
"Itu tergantung hukum yang digunakan. Dan keputusan pengadilan. Kalau perdata 50:50," katanya kepada detikFinance saat dihubungi di Jakarta, Senin (8/1/2018).
Pembagian berdasarkan hukum perdata itu bisa tidak berlaku, jika sebelum perkawinan telah dibuat perjanjian pra nikah yang intinya memisahkan seluruh harta bawaan dan harta perolehan antara suami istri tersebut. Maka ketika perceraian terjadi, masing-masing suami/istri tersebut hanya memperoleh harta yang terdaftar atas nama mereka. Karena tidak dikenal istilah harta bersama atau istilah harta gono-gini tadi.
"Jadi tergantung hukum yang digunakan," tuturnya.
Penjelasan tersebut mengacu pada Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terhitung sejak perkawinan terjadi, demi hukum terjadilah percampuran harta di antara keduanya (jika perkawinan dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - UU Perkawinan).
"Selama tidak ada perjanjian pisah harta, maka semua penghasilan yang diperoleh setelah perkawinan menjadi milik bersama," pungkas Prita.
Halaman 2 dari 6











































