Banyak orang pengeluaran kebablasan saat libur panjang atau long weekend seperti sekarang ini. Tak jarang, untuk mengatasi masalah keuangan di hari-hari selanjutnya, orang mengambil solusi dengan utang. Perlukah dilakukan?
Perencana Keuangan dari Advisors Alliance Group Indonesia, Andy Nugroho menilai, utang boleh saja dilakukan tergantung urgensinya. Menurutnya, jika utang itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok tidak masalah.
"Tergantung yang dibeli apaan, misalkan yang dibeli kebutuhan pokok, beras, atau sekadar untuk nyambung hidup, daripada kita nggak makan sama sekali berimbas pada kesehatan kita, utang masih diperbolehkan," katanya kepada detikcom, Minggu (14/3/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu juga, untuk kondisi yang mendesak lain seperti jika handphone rusak. Padahal, handphone tersebut digunakan untuk bekerja atau aktivitas sehari-hari.
Menurutnya, untuk hal-hal yang sifatnya menunjang gaya hidup sebaiknya tidak dilakukan, seperti misalnya untuk ganti model handphone. Dia melanjutkan, idealnya total utang ialah 30% dari total pengeluaran setiap bulannya."Untuk kerjaan kita ya mau nggak mau kita belinya minjem dulu pakai kartu kredit dulu, itu masih diperbolehkan artinya hal-hal yang bersifat darurat," katanya.
"Kalau idealnya total utang kita adalah 30% dari total pengeluaran kita, misalnya penghasilan Rp 10 juta kemudian berapa sih idealnya maksimal saya boleh bayar-bayar utang, cicilan utang saya berapa sih maksimal itu adalah 30% artinya Rp 3 juta dari total penghasilan Rp 10 juta itu tadi. Di dalam Rp 3 juta include cicilan rumah, kendaraan bermotor, kartu kredit ataupun utang-utang yang lain," paparnya.
Persentase cicilan utang bisa saja lebih dari 30%. Namun, Andy bilang, hal itu berisiko pada pengeluaran lainnya.
"Cuma misalnya ternyata satu dan lain hal saat ini total cicilan saya sudah 50% bahkan 70% boleh atau nggak? Ya boleh-boleh aja, impactnya adalah kebutuhan yang lain bisa jadi nggak mencukupin," terangnya.
(acd/zlf)