Generasi Z marak dibicarakan karena pola pikirnya yang terbuka dan kritis. Hal ini menjadi sorotan ketika ditemukan hasil survei Handshake, situs karir untuk mahasiswa dan lulusan baru.
Ditemukan bahwa 85% pencari kerja dari kalangan generasi Z memprioritaskan stabilitas dalam pekerjaan. Lantaran memilih gaji tinggi, generasi Z lebih mengutamakan work life balance dengan gaji rendah.
Apa penyebab terjadinya fenomena ini? Lantas, bagaimana cara generasi ini dapat memenuhi kebutuhan harian dengan gaji rendah?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perencana Keuangan, Safir Senduk, menjelaskan generasi Z cenderung memiliki mindset teori Hierarki Kebutuhan Maslow terbalik. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow berbentuk segitiga yang mengerucut ke atas berarti mendahulukan kebutuhan dasar sebelum akhirnya mengerucut ke kebutuhan aktualisasi diri.
Dalam fenomena ini, para gen Z disebut cenderung mengutamakan aktualisasi diri, penghargaan, baru lah pemenuhan fisiologis. Mindset seperti ini dapat dikatakan cenderung sesat pikir.
"Yang dilakukan oleh gen z sekarang ini, uangnya cukup nggak cukup, yang penting pembuktian dulu. Yang penting kita senang-senang dulu, yang penting kita happy-happy dulu. (Hal) yang lain urusannya belakangan. Cukup atau nggak uangnya, belakangan aja," jelasnya Safir dalam podcast Tolak Miskin episode 'Tren Rela Gaji Kecil Asal Sehat Mental a la Gen Z'.
Menurut Safir, jika mindset ini terus dipertahankan, maka tabungan mereka tak bisa bersisa di masa tua nanti sehingga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga.
Ber-mindset YOLO
Lebih besarnya pengeluaran dibandingkan pendapatan dengan tidak mengutamakan gaji besar merupakan hal yang kontradiktif. Safir menganggap gaya hidup yang dipilih oleh kalangan generasi z berlangsung akibat mentalitas YOLO atau you only live once.
Mindset YOLO dalam finansial dianggap Safir sebagai sesuatu yang mencemaskan. Derasnya arus informasi di sosial media lah yang dianggapnya mendukung mindset ini.
"Mungkin, dua penyebabnya mindset YOLO dan YODO (you only die once), dan pengaruh sosial media yang membuat banyak gen z yang menerima informasi, motivasi dengan tanda petik teman-teman sosial media lain tanpa menyaring mana yang perlu dijalankan mana yang tidak," ungkap Safir.
Terjadinya fenomena teori Hierarki Kebutuhan Maslow terbalik dan mindset YOLO melahirkan suatu pola pikir, bersenang dahulu dan bersusah kemudian. Fenomena ini dianggap mencemaskan.
Safir bilang, hal ini kerap terjadi karena kurangnya pertimbangan dalam finansial di kalangan generasi Z. Mereka dianggap cenderung FOMO (fear of missing out) ketika melihat temannya bisa jalan-jalan keluar negeri, tanpa mengingat perbedaan privilese yang dimiliki.
"Masalahnya adalah banyak di antara para gen z itu yang melihat 'kok, teman seangkatan saya bisa ya dia senang-senang tanpa susah dulu' yang dia nggak nyadar adalah mungkin teman yang senang-senang tanpa susah dulu dapat bantuan dari orang tuanya," jabar Safir.
Meskipun begitu, Safir mengungkapkan bahwa meskipun pendapatan kecil, kesenangan masih bisa dicapai. Dengan catatan, tidak secara berlebihan dan dengan pertimbangan keuangan yang tepat.
"Kalau buat yang karyawan healing sebulan sekali atau dua bulan sekali masih oke, dengan catatan jaraknya dekat, misalnya. Ada lho orang healing sebulan dua kali, ngabisin tiket pesawat. Kendalikan senang-senang kita," sebut Safir.
Terlepas berapa pun pendapatan Anda, mempertimbangkan finansial pribadi merupakan hal yang sangat penting demi keberlangsungan hidup. Safir menyarankan agar memprioritaskan kebutuhan sehari-hari terlebih dahulu dan memikirkan kembali pengeluaran yang bersifat impulsif dan hanya untuk kesenangan sesaat.
Informasi lengkap tentang topik ini bisa diakses lewat podcast Tolak Miskin dengan mengklik widget di bawah ini.
(eds/eds)