Instrumen investasi banyak macamnya, mulai dari obligasi, reksa dana, saham, dan lain-lain. Namun, ada jenis lain yang luput dari pandangan kita yaitu karya seni seperti lukisan.
Bagi kaum penikmat karya seni, lukisan menjadi salah satu benda berharga, bisa disimpan dalam jangka waktu lama dengan nilai jual yang tak pernah surut.
Ketua Asosiasi Galeri Senirupa Indonesia (AGSI) Edwin Rahardjo mengungkapkan, saat ini masyarakat Indonesia belum banyak mengenal karya seni sehingga minat untuk menjadikan lukisan sebagai koleksi atau investasi juga masih minim. Padahal, kata dia, nilai sebuah karya seni sangatlah berharga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Edwin mencontohkan, di tahun 2003 lalu, harga 40 lukisan dari 16 pelukis Tiongkok yang dipamerkan di Indonesia harganya berkisar di angka US$ 600 ribu. Harga tersebut terus melonjak, saat ini mencapai US$ 80 juta.
"Lukisan bisa dijadikan sebagai harta karun. Tahun 2003, 16 pelukis memamerkan 40 lukisannya di sini harganya US$ 600 ribu, sekarang US$ 80 juta. Jadi mesti ada pengalaman dulu untuk bisa menilainya," katanya.
Edwin bercerita, di Amerika Serikat (AS) dan Eropa investasi dalam karya seni seperti lukisan sudah banyak dijumpai. Kecenderungan masyarakatnya yang mencintai karya seni membuat lukisan dijadikan koleksi dan investasi.
Di sana, ujar Edwin, anak-anak saja sudah mulai diperkenalkan karya seni sehingga sejak dini sudah mulai mengerti nilai sebuah lukisan. Ini sangat berbeda dengan di Indonesia.
"Investasi seni, harga sangat tergantung demand, cipta, rasa, karya. Seni itu abstrak, di AS dan Eropa ada instruksi seninya, ada kurator yang menilai ini karya bagus atau tidak, asli atau tidak. Di AS, Eropa anak-anak usia 5 tahun sudah masuk museum jadi mengerti seni, jadi ketika mau beli lukisan ngerti," terang dia.
Biasanya, kata Edwin, para pecinta karya seni ini umumnya dari kalangan menengah atas mengingat tingginya harga untuk sebuah karya seni.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan siapa pun bisa menjadikan lukisan sebagai koleksi atau investasi.
Sayangnya, lanjut Edwin, di Indonesia belum ada profesi atau sebuah tolak ukur untuk memberikan nilai sebuah karya seni.
"Kita nggak ada infrastrukturnya, yang bisa menilai iya ini bener asli atau nggak. Perputaran uang di seni sangat besar. Sebenarnya itu salah satu ekonomi kreatif. Seperti barang antik makin lama makin mahal," paparnya.
Di tempat yang sama, Vice President Wealth Management Advisory PT Bank UOB Indonesia Calvin Nico Herlambang menambahkan, lukisan memang bisa dijadikan peluang untuk berinvestasi. Namun, belum ada tolak ukur pasti yang bisa menyebutkan nilai sebuah lukisan. Ini yang menjadikan lukisan masih belum dilirik untuk dijadikan bahan investasi.
"Ini namanya art fund, di Indonesia terbatas regulasi. Konteksnya harus ada infrastruktur yang mendukung, ini diperlukan. Harus ada kriteria soal nilainya. Karya seni masih cukup jauh untuk dijadikan investasi karena nggak ada underlying aset," jelas dia.
Menurutnya, sejauh belum ada infrastruktur yang memadai, investasi dalam bentuk lukisan masih belum cocok diterapkan di Indonesia.
Namun begitu, ujar dia, masih banyak peluang untuk bisa menjadikan lukisan sebagai instrumen investasi dengan dukungan berbagai pihak.
"Kita selalu melihatnya, lukisan ini apa ada hal yang bisa untuk mengukurnya? Kalau ada itu bagus. Perlu dibuat dulu infrastrukturnya untuk menghargai nilai. Di industri art hanya sekitar setengah persen dari owner menjual lukisannya, jadi 99,5% dimiliki sendiri," pungkasnya.
(drk/ang)