Kemungkinan terjadinya bubble property (gelembung properti) di Indonesia perlu menjadi perhatian bagi seluruh pihak terkait, baik dunia usaha, perbankan maupun pemerintah sendiri. Bubble property perlu diwasapadai guna menghindari terjadinya over supply dan penyaluran kredit yang terlalu masif pada industri properti yang dapat berakibat krisis yang terjadi di tahun 1997.
Namun bagaimana sebenarnya peluang terjadi bubble property di Indonesia?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika cepatnya pergerakan harga terus dibiarkan, akan terjadi pecahnya kondisi "Bubble Property" yang menjadikan harga-harga properti jatuh diikuti dengan ambruknya ekonomi secara menyeluruh sehingga akan menimbulkan masalah nasional berupa resesi ekonomi
Dikutip detikFinance dari Publikasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia mengenai Berita Properti dan Prospek, Jumat (20/1/2012), kewaspadaan akan terjadinya bubble property memang diperlukan, namun beberapa indikator terkait sektor properti di Indonesia masih menunjukkan perkembangan yang moderat.
"Salah satu pemicu bubble property adalah derasnya aliran modal masuk dari luar negeri (capital inflow). Masuknya modal dari luar dalam waktu bersamaan akan menjadikan Indonesia kelimpahan akan dana. Kelimpahan modal ini yang merupakan suatu peluang bagi para pelaku investasi. Dan investasi yang paling cepat daya serapnya adalah industri properti baik residensial maupun komersial," tulis BI.
Apakah pertumbuhan properti di Indonesia masih sehat?
BI menjelaskan fundamental ekonomi Indonesia kuat dan permintaan terhadap properti sangat riil serta masih didominasi dari pengguna akhir (end user). Selain itu perlu diketahui, Indonesia masih kekurangan pasokan hunian dan infrastruktur sehingga pasar properti masih sangat besar.
"Sesuai data BPS, kebutuhan rumah saat ini adalah 13,6 juta unit atau masih terdapat backlog paling tidak sebesar 7,1 juta," jelas BI.
BI mengungkapkan saat ini, harga rumah mengalami kenaikan masih wajar mengingat rumah merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Kenaikan yang terjadi selama ini antara lain karena permintaan pasar dan kenaikan harga bahan bangunan.
Harga unit-unit properti baik residensial maupun komersial yang kini telah mencapai miliaran rupiah di kawasan perkotaan ternyata juga diserap oleh masyarakat, baik untuk ditempati maupun dijadikan investasi. Ini menandakan pasar mampu menyerapnya di harga tersebut.
Fakta lain, BI memaparkan pemberian kredit properti oleh perbankan juga tergolong kecil yakni sekitar 14% dari total kredit perbankan. Kondisi ini berbeda sebelum krisis ekonomi 1997/1998 yang porsi kredit propertinya mencapai 20%.
Kontribusi sektor properti Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)-pun masih tergolong kecil. Dengan demikian, sektor tersebut masih memiliki peluang untuk berkembang.
Dari sisi pembiayaan, BI memandang tidak ada hal yang perlu ditakuti. "Perbankan nasional saat ini cukup selektif dalam memberikan kredit properti untuk mengantisipasi kredit macet seperti yang terjadi pada 1997/1998 dan 2008," jelas BI kembali.
"Hasil kajian DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) Bank Indonesia dengan menggunakan berbagai metode (agregat data method, affordability method dan investment method) yang umum digunakan dalam mengukur terjadinya bubble menyebutkan bahwa secara umum belum dapat disimpulkan telah terjadi bubble pada harga properti di Indonesia," demikian dijelaskan BI.
(dru/qom)











































