Direktur Utama PT Summarecon Agung Johanes Mardjuki menolak dengan istilah pengembang nakal. Hingga saat ini pihak Summarecon belum mendapatkan surat resmi dari Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera).
"Saya belum tahu, belum ada penyampaian resmi dari Kemenpera," kata Johannes usai Public Expose Rapat Umum Pemegang Saham di Cangkir Room, Gedung Klub Kelapa Gading, Jakarta, Kamis (19/06/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita dulu pernah laksanakan di tahun 90 di Serpong. Sebelumnya memang ada peraturan itu juga ada di 4 lokasi yaitu di Kuningan, Serang, Banten. Tahun 1994-1995 sudah dilaksanakan. Kalau di tempat yang sama itu sulit karena NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) sudah tinggi sekali jadi tidak mudah," imbuhnya.
Johannes menjelaskan pihaknya akan melakukan komunikasi dengan Kemenpera. Ia juga berpendapat bila pembangunan rumah bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR) bukan saja menjadi tanggung jawab pengembang tetapi pemerintah.
"Tindak lanjut, kita akan jelaskan dan kita bukan kriminal. Kita ini businessman yang ikuti dan taat peraturan dan bukan seorang pidana," cetusnya.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 10/2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang. Ketentuan ini merupakan turunan dari UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman Nomor 1 Tahun 2011. Pada pasal 34 ayat 1 Badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang.
Awal Juli 2012, Djan Faridz menerbitkan aturan kawasan hunian berimbang. Kewajiban pengembang menghadirkan rumah untuk seluruh lapisan masyarakat di satu kawasan juga dapat menjaga kerukunan serta mewujudkan subsidi silang untuk penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum. Lahan juga dapat dimanfaatkan bersama hingga terjadi keserasian sosial dan ekonomi antar penghuni.
(wij/hen)











































