Belakangan ini bermunculan kasus kisruh antara penguni rusun dengan pengembang properti terkait hak pengelolaan rusun/apartemen, khususnya di Jakarta.
Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi) Ibnu Tadji, mencoba mengungkapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang konsumen saat akan membeli apartemen/rusun. Sebab, bila tak cermat justru bakal menyesal di kemudian hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada beberapa persoalan yang disoroti Ibnu, seperti persoalan dokumen Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) ketika pengembang mulai menjual rusun ke konsumen. Hal ini bisa dicermati oleh konsumen saat mulai melirik sebuah rusun/apartemen di acara pameran perumahan atau saat mendapatkan tawaran pengembang.
Menurut Ibnu, PPJB yang diberikan pengembang selalu terlambat diberikan, bahkan saat penghuni rusun sudah lunas membayar angsuran atau uang muka hingga proses mencicil. Padahal PPJB harusnya diberikan antara pihak pengembang kepada calon penghuni sebelum transaksi dilakukan atau sebelum pembangunan rumah susun selesai.
"Biasanya setelah angsuran sampai 50%, PPJB baru diberikan. Ada yang sudah selesai atau lunas PPJB baru diberikan. Lalu ada yang beli cash, PPJB baru diberikan 1-2 bulan," imbuhnya.
Permasalahan tidak selesai sampai di situ. Usai penghuni apartemen menerima PPJB ternyata isinya mengikat dan merugikan konsumen. Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah, tidak ada satu pun pasal di dalam PPJB yang mengatakan kapan AJB (Akta Jual Beli) diberikan kepada penghuni apartemen. Kalimat yang ada di PPJB selalu fleksibel tanpa ada kepastian waktu.
"PPJB isinya mengikat mereka (penghuni) habis-habis. Ini yang disebut klausul baku yang jelas dilarang Undang-undang karena merugikan konsumen. Mereka terjebak di sana, AJB tidak pernah ada karena sertifikat tidak pernah ada," paparnya.
Menurut Ibnu, praktik lainnya yang dianggap tak sesuai dengan undang-undang adalah penunjukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Pembentukan PPRS harusnya mencakup para penghuni rusun. Praktiknya PPRS justru dikuasai oleh pengembang lagi.
Ibu mengatakan, hal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20/2011 tentang rusun yang menekankan PPRS berkewajiban mengelola lingkungan apartemen bukan pengelola/pengembang.
"Yang menjadi penguasa pengelola seharusnya, PPRS tetapi justru pengelola," jelasnya.
Pasal dalam UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun tidak mengatur transisi pembentukan PPRS tersebut. Namun hanya mengatur pembentukan PPRS dilakukan transisi paling lama satu tahun setelah terima unit.
Dampaknya belakangan ini, muncul kisruh di sejumlah rusun/apartemen dan mal di Jakarta. Pihak penghuni dan pengembang masing-masing mengklaim sebagai pengelola. Konflik penghuni dan pengembang terjadi di apartemen di kawasan kota Jakarta Barat dan Jakarta Pusat.
Bagi Anda yang punya pengalaman tak menyenangkan tinggal di rusun terkait dengan pengembang, atau masalah lainnya. Anda bisa mengirimkan cerita ke redaksi@detikfinance.com
(wij/dnl)











































