Ketua Umum DPP REI Eddy Hussy melaporkan soal 7 permasalahan para pengembang properti. Pertama, adalah lamanya waktu pengurusan dan biaya perizinan. Sehingga perlu adanya pemangkasan birokrasi dan standardisasi biaya serta tenggat waktu perizinan yang pasti.
"Pemerintah sebelumnya telah menyatakan komitmen untuk memangkas dan menyederhanakan perizinan. Semoga demikian juga dengan sektor perumahan rakyat," ujar Eddy di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (19/11/2014)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahkan tanah yang sudah dikuasai pemerintah selama berpuluh-puluh tahun bisa dengan gampangnya digugat ke pengadilan," terangnya.
Ketiga, adalah terbatasnya ketersediaan lahan dan infrastruktur. Selain itu, persoalan harga dasar tanah di perkotaan yang terus melambung. Keempat, adalah aspek pembiayaan dengan bunga KPR yang tinggi berkisar 10%-14%.
"Oleh karena itu kami mengharapkan di masa pemerintahan yang baru ini dapat diwujudkan Tabungan Wajib Perumahan yang bisa menyediakan dana-dana murah berjangka panjang bagi pembiayaan peruamahan," pesan Eddy.
Kelima, adalah kebijakan terhadap pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) yang tidak didukung oleh semua instansi pemerintah. Misalnya pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk rusunami yang seharusnya bisa diwujudkan oleh Kementerian Keuangan.
Keenam, adalah KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk Rumah Sederhana Tapak (RST). Menurut Eddy, perlunya revisi Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) yang akan menghentikan subsidi KPR FLPP untuk RST per 1 April 2015.
"Ketujuh adalah hunian berimbang. Pelaksanannya masih diperlukan pemahaman bersama soal UU No 1 tahun 2011," kata Eddy.
(mkl/hen)