Alasan usulan ini karena adanya penurunan pasar perumahan di semua segmen harus menjadi perhatian pemerintah. Apalagi pemerintah sedang giat-giatnya melakukan pembangunan rumah sederhana melalui Program Sejuta Rumah.
Pasar perumahan masih tertekan sampai triwulan III-2015 dengan penurunan penjualan perumahan di Jabodebek-Banten mencapai -51,7% (qtq) atau -19,4% (yoy).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan sebuah riset bahwa yang menjadi hambatan pasar end-user dalam memiliki rumah adalah Pertama: Uang Muka, dan Kedua: Cicilan. Besaran uang muka inilah yang menjadi momok bagi pasar karena cukup memberatkan calon konsumen.
Dengan diserahkannya besaran uang muka kepada bank masing-masing, maka dipastikan gairah untuk membeli rumah pertama akan meningkat. Di segmen menengah banyak juga end-user yang harus diberikan akses ke KPR Pertama yang lebih bankable.
Kekhawatiran akan terjadinya kredit macet karena uang muka yang kecil, Ali kembali menjelaskan bahwa rumah berbeda dengan kredit konsumen yang lain seperti kendaraan bermotor.
Bila memang terjadi kredit macet, maka bank dapat melelang aset yang ada dan harga tidak akan turun seperti kendaraan bermotor. Selain itu rumah tidak bisa dibawa kemana-mana sehingga sangat aman dari sisi jaminan.
"Relaksasi ini dibutuhkan saat ini dan dalam perkembangannya Bank Indonesia dapat memperketat kembali aturan ini bila pasar sudah lebih baik, jadi tidak perlu khawatir," kata Ali.
Ia mengatakan memang sudah ada peraturan BI 2015 yang telah menurunkan batasan LTV (Loan to Value) KPR Pertama dari 70% menjadi 80%. Artinya dengan adanya perubahan ini maka uang DP KPR minimal turun dari 30% menjadi 20%.
Menurut Ali, kebijakan ini relatif masih memberatkan kaum end-user pengguna KPR. Apalagi kemudian diikuti dengan tambahan jaminan yang harus disediakan pengembang, sehingga akan membebani khususnya para pengembang menengah sampai kecil.
(hen/hns)











































