Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan, Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, Maurin Sitorus mengatakan, bila dilihat dari sudut pandang yang sempit memang kebijakan ini terkesan tidak adil, terutama bagi para pengusaha pemberi kerja.
"Tapi kalau dilihat dangan kacamata yang lebih luas, ini justru akan memberi daya tarik tersendiri. Kalau dananya terkumpul, akan banyak pembangunan rumah baru," kata Maurin di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Jumat (26/2/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau ada pembangunan rumah baru, akan banyak pembelian semen, industri genting, industri batu bata, asuransi pembiayaan juga akan kena untung. Semua terbantu, pengusaha juga nanti yang diuntungkan," sambung dia.
Selain itu, Maurin menambahkan, pengusaha dan pekerja tak perlu khawatir dananya di Tapera akan hilang. Sebab, mereka masih bisa mencairkannya ketika masa kerja telah berakhir alias pensiun.
Ia pun mengajak semua pihak untuk berpikir lebih terbuka. Ia mengatakan, pemerintah sama sekali tak bermaksud membebankan kewajibannya ke masyarakat.
"Pemerintah juga mengiur kok. Bukan hanya pengusaha swasta dan pekerja saja yang mengiur. Pemerintah juga. Saat ini di Indonesia ada 4,5 juta Aparatur Sipil Negara (ASN) yang pemberi kerjanya adalah pemerintah. Jadi Negara juga berpartisipasi," pungkas dia.
Namun, kalangan pengusaha justru mengkritik Tapera. Ketua Apindo DKI Jakarta, Soeprayitno, menilai penerapan Tapera ini bisa menimbulkan permasalahan sosial yakni ketidakadilan.
"Tapera bisa menimbulkan ketidakadilan karena semua orang wajib mengiur, tapi tidak semua orang bisa menikmati. Yang bisa menerima manfaat hanya mereka yang berpenghasilan rendah, di bawah UMR (Upah Minimum Regional)," ujar dia dalam kesempatan yang sama. (dna/hns)











































