Pengamat Properti Colliers International Research, Ferry Salanto, mengatakan penerapan metode cicilan bertahap marak dilakukan pasca diterbitkannya aturan tersebut.
Konsumen umumnya berusaha menghindari uang muka tinggi yang ditimbulkan akibat penerapan kebijakan BI tersebut. Maklum, dalam Surat Edaran (SE) Bank Indonesia (BI) No 15/40/DKMP yang diterbitkan pada September 2013, disebutkan bahwa uang muka alias Down Payment (DP) KPR rumah pertama naik menjadi minimal 30%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Istilah cicilan bertahap dalam industri properti artinya kosumen membayar langsung kepada pengembang secara bertahap dalam beberapa kali pembayaran. Transaksi ini dilakukan secara langsung antara pengembang dengan konsumennya tanpa melibatkan pihak bank.
Berbeda dengan KPR dimana rumah yang telah dibangun pengembang akan dibayar tunai oleh pihak bank yang kemudian tercatat sebagi pinjaman ke konsumen. Konsumen tinggal melakukan pembayaran dengan cara mencicil ke pihak bank.
"Kalau sebelumnya komposisi yang membayar tunai hanya 30% dan KPR 70%. Sekarang terbalik. Yang tunai jadi 70% dan yang KPR hanya 30%," kata dia.
Hal tersebut juga tercermin dari Survey Harga Properti Residensial yang dilakukan BI. Survei tersebut menyebutkan, pada triwulan I-2014. Total KPR tercatat Rp 282,36 triliun. Hanya tumbuh 0,32%, lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai 2,21%. Pemicunya adalah kebijakan pengetatan LTV pada September 2013.
Namun, menurut Ferry, konsumen harus memahami risiko dari cicilan bertahap ini.
"Kalau KPR kan melibatkan pihak bank. Pinjaman di bank kan bisa dijaminkan. Kalau cicilan bertahap itu langsung ke pengembang. Jadi kalau nanti terjadi risiko-risiko misalkan kegagalan konstruksi dan sebagainya, tidak ada lembaga yang menjamin. Itu bahaya untuk konsumen," pungkas dia. (dna/ang)











































