Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan sebaiknya UU TAPERA tidak memaksakan pengenaan beban bagi pemberi kerja atau perusahaan.
Menurutnya target peserta TAPERA seharusnya lebih menyasar pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan pekerja informal yang telah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dan sumber pendanaannya dapat diambil dari APBN-APBD, atau dari sumber pembiayaan publik lainnya yang selama ini sudah dipungut dari pelaku Usaha melalui pajak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rosan menyampaikan hal tersebut dalam pembukaan seminar UU Tapera, di Grand Sahid Hotel Jaya. Hadir dalam acara ini Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Ketua APINDO Hariyadi Sukamdani, Anggota Komisi XI DPR yang juga sebagai Ketua Panja UU Tapera Misbakhun, Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo, serta beberapa pengusaha lainnya.
"Ada pak Hariyadi (Ketua APINDO Hariyadi Sukamdani) juga yang menolak keras UU Tapera," ujar Rosan diikuti tawa hadirin.
Rosan mengatakan seharusnya pengusaha diberikan ruang dan tidak langsung dikenakan iuran TAPERA, sehingga iuran itu tidak semakin memberatkan pihak pengusaha atau pemberi kerja.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Antar Lembaga, Bambang Soesatyo mengatakan penerapan TAPERA jika tidak disikapi dan dilaksanakan dengan bijaksana, maka dapat menimbulkan permasalahan sosial yaitu ketidakadilan. Karena semua orang wajib melakukan iuran, tapi tidak semua orang bisa menikmati.
Penerima manfaat hanya mereka yang berpenghasilan rendah, di bawah upah minimum regional (UMR). Tidak semua perusahaan memiliki tenaga kerja yang memiliki pendapatan di bawah UMR.
Sementara itu, Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Hubungan Antar Lembaga dengan Swasta, Ikang Fawzi mengatakan pemerintah harus bertanggung jawab penuh dalam penyediaan fasilitas perumahan bagi MBR.
Pemerintah seharusnya lebih dulu mewujudkan target membangun sejuta rumah dan memperkuat kerjasama dengan pihak pengembang serta memastikan dukungan infrastruktur dan keringanan perizinan.
"Pengesahan UU TAPERA harus adil, tidak hanya bagi MBR tetapi juga tidak memberatkan bagi pengusaha. Pemerintah harus lebih intensif menyediakan fasilitas rumah yang layak dan terjangkau," kata Ikang.
Seperti diketahui sebelumnya, keberadaan UU Tapera diharapkan mampu mengurangi angka kebutuhan rumah (backlog). Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka backlog mencapai 13,5 juta unit.
Sejak tahun lalu pemerintah melakukan upaya mengurangi angka backlog melalui Program Satu Juta Rumah. (dna/dna)