Program TAPERA Mirip dengan BPJS Ketenagakerjaan, Tantangannya Pun Sama

Program TAPERA Mirip dengan BPJS Ketenagakerjaan, Tantangannya Pun Sama

Yulida Medistiara - detikFinance
Kamis, 27 Okt 2016 17:45 WIB
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta - Tata cara penyelenggaraan Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) dinilai mirip dengan BPJS Ketenagakerajaan karena mengharuskan pekerja dan pemberi kerja menabung untuk mendapatkan manfaat. Menurut Direktur BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto, tantangan yang akan dihadapi program TAPERA pun akan mirip dengan BPJS Ketenagakerajaan.

"Terkait kepesertaan di UU-nya adalah peserta formal dan informal, ini hampir sama yang dilakukan dengan BPJS. Saya baca bolak balik peraturannya hampir sama, artinya tantangannya hampir sama," kata Agus, di Grand Sahid Jaya, Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2016).

Tantangan yang akan dihadapi terutama terkait pelaporan data jumlah karyawan dan data penghasilan karyawan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mencontohkan, ada perusahaan yang mendaftarkan karyawannya hanya sebagian saja dari total karyawan agar tidak menanggung biaya iuran peserta yang terlalu besar. Karena untuk iuran program Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 5,7% sebulan yang terdiri dari 2% yang dibayarkan pekerja dan 3,7% dibayar pemberi kerja. Sedangkan iuran JP sebesar 3% dari upah sebulan dengan rincian 2% pemberi kerja dan 1% pekerja.

Selain itu ada pula perusahaan yang melaporkan gaji karyawannya lebih rendah dari sebenarnya. Dengan begitu, menurutnya, cita-cita TAPERA yang mengharapkan masyarakat berpenghasilan lebih tinggi 'mensubsidi' masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) menjadi tidak jalan karena melakukan pemalsuan data upah karyawan.

"Nanti misal perusahaan-perusahaan yang wajib mendaftar ini datangnya sepaket saja, misal karyawannya ada 1.000 yang di daftarkan cuma 10, karwayannya gajinya Rp 10 juta, tapi yang didaftarkan Rp 1 juta saja sehingga ini yang dihadapkan di UU TAPERA ini akan sama tantangannya," kata Agus.

MBR dalam kacamata pembiayaan perumahan adalah mereka yang memiliki pendapatan maksimal Rp 4 juta/bulan bagi mereka yang membeli rumah, dan Rp 7 juta/bulan bagi mereka yang membeli rumah susun. Agus mengatakan jumlah pekerja informal di Indonesia lebih banyak yaitu sekitar 58% sehingga dia berharap dapat terjaring dalam TAPERA.

Ia berharap tidak ada masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan yang tidak bisa menikmati TAPERA. Menurutnya, TAPERA harus mencakup seluruh pekerja, dia mencontohkan di BPJS Ketenagakerjaan memiliki inovasi yang dapat mencakup warga berpenghasilan rentan sehingga diharapkan TAPERA harus mencakup juga hal tersebut.

"Tidak ada satu orang pun yang tinggal dalam pembangunan. Kalau ada 45 juta saudara yang gajinya pas-pasan yang nggak bisa masuk dalam skema TAPERA terus gimana? Apakah harus kita tinggalin. Ini juga kami hadapi," kata Agus.

"Oleh karena itu, kita lakukan inovasi sosial yang dikenal program perlindungan pekerja rentan, kita memberdayakan empati sosial kedermawanan sama-sama membantu iuran pekerja renta. Inovasi ini mungkin juga bisa di terapkan di TAPERA. Kalau TAPERA ini jalan, tolong ada banyak sekali saudara-saudara kita yang banyak nggak masuk dalam ini, ikut harus masuk, no one left behind," ujarnya.. (dna/dna)

Hide Ads