Namun demikian, kemungkinan program ini diterapkan di Jakarta masih menjadi pertanyaan. Bukan hanya dari sisi masyarakat, tapi juga dari sisi pengembang yang punya peran menyediakan rumah itu sendiri.
"Saya sendiri enggak tahu persis konsep 0 rupiah atau 0 persen seperti apa," kata Sekretaris Perusahaan Intiland, Theresia Rustandi ditemui di bilangan Jakarta Selatan, Selasa (21/2/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebenarnya, dalam aturan pemerintah yang baru, sudah ada patokan harga rumah yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun kalangan pengembang mempertanyakan, apa upaya pemda untuk menstimulus pengembang membangun hunian dengan harga yang ditetapkan.
"Untuk harga rumah MBR sendiri, baik rusun maupun tapak sudah ada patokannya dari pemerintah. Patokannya harga tertinggi. Misalnya harga landed sekitar Rp 200-250 juta per rumah. Tapi siapa yang bisa bangun 250 juta (di Jakarta)?" tutur dia.
Kalau pun bisa dibangun dan dijual ke MBR dengan harga Rp 200 juta, program KPR tanpa DP dianggapnya kurang relevan dengan kondisi MBR di Jakarta. Karena tanpa uang muka, ada risiko cicilan yang harus ditanggung masyarakat jadi membengkak.
"Jadi pertanyaannya adalah, mampu enggak dibayar sama MBR? Yang kita bicarakan adalah MBR. Bukan kelas menengah yang gajinya di atas 7 juta," ungkap Theresia.
Dengan harga tanah di jakarta yang ada saat ini, ia pun mengajak masyarakat untuk berpikir realistis.
"Bicara rumah-rumah untuk primary market (kelas menengah), di Jakarta cari yang Rp 1 miliar saja sudah susah. Kalau rusun harganya sekitar Rp 400 juta. Kalau bicara MBR, untuk beli Rp 400 juta itu sudah susah. Pendapatan MBR kalau Rp 3,2 juta bisa cicil berapa?" tandas dia. (dna/dna)











































