Sekretaris Jenderal Realestat Indonesia (REI), Totok Lusida, mengatakan ada beberapa hal yang membuat masyarakat menunda pembelian rumah. Salah satunya adalah suku bunga Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) yang dirasa masih terlalu tinggi.
"Salah satunya spread suku bunga, sekarang BI menentukan (suku bunga acuan) 4,75%. Tapi bunga kredit masih 12-14%. Bedanya terlalu besar. Ini yang harus kita kurangi, bagaimana caranya," katanya saat dihubungi, Senin (14/8/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena perizinan yang lama kan membuat beban cost of money terhadap pengembang. Itu membuat harga rumah menjadi mahal. Kalau selama ini kita mau bangun perumahan kan izin minimal 2 tahun. Itu kan jadi cost of money. Kita beli tanah, dua tahun lagi baru bisa kita jual. Itu cost of money. Cost of money itu kan dibebanin ke masyarakat," ungkapnya.
Selain itu, masyarakat juga dirasa masih ragu untuk investasi di bidang properti lantaran kebijakan fiskal pemerintah yang dikhawatirkan bakal mematok tarif pajak di luar dari perkiraan masyarakat.
"Jadi kita pendekatan ke pejabat pemerintah supaya tidak membuat wacana-wacana yang membuat market ini takut. Salah satunya perpajakan. Kita sudah ketemu dengan Dirjen Pajak supaya tidak memberikan kebijakan baru lagi. Kan sudah sebulan lebih ini Dirjen Pajak tidak memberikan wacana yang baru," sambungnya.
Ketiga hal ini kata dia tengah ditindaklanjuti bersama dengan BI, untuk menentukan langkah seperti apa yang akan diambil untuk menstimulus daya beli masyarakat berinvestasi di sektor properti.
"Kebijakannya apa, kita belum tentukan bersama. Kita lagi analisa. Sehingga rakyat itu punya kepercayaan, kalau mau beli rumah, bagaimana kebijakannya. Mulai dari perizinannya, perpajakannya, bunga banknya," tukas dia. (eds/wdl)











































