LTV adalah besaran dana yang bisa diberikan bank kepada pemohon kredit untuk membayar uang muka pembelian properti.
LTV segmen atau targeted artinya mengatur besaran uang muka atau down payment (DP) pada properti rumah tinggal, rumah susun, atau apartemen dan bentuk-bentuk properti spesifik lain. Namun, hal tersebut tampaknya masih lama untuk diimplementasikan karena sejumlah kendala, terutama data yang akurat mengenai harga properti di sejumlah wilayah di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalnya kita longgarkan Papua, tapi siapa yang mau ambil KPR di sana? Kalimantan juga. Misalnya KPR turun, tapi juga harus hati-hati karena di sana NPL (non performing loan/kredit macet) nya tinggi. Jadi banyak variabel-variabel yang harus diperhatikan," tambahnya.
Sri menjelaskan, variabel seperti demografi dan kinerja dari wilayah yang akan dilakukan pelonggaran LTV menjadi data yang perlu diperkuat. Hal ini membuat pihaknya masih belum bisa memastikan kebijakan makroprudensial seperti apa yang akan dilakukan tahun ini terkait pelonggaran LTV.
"Akan terus kita lihat perkembangannya, apa yang bisa kami bantu. Tentu kami juga diskusi dengan REI dan Perbanas. Jadi masih kita kaji terus. Nanti kita monitor sampai di mana perkembangannya. Karena datanya harus proper dan akurat," pungkasnya.
Adapun LTV untuk properti di Indonesia saat ini tergolong masih tinggi, yakni 85%. Padahal DP menjadi salah satu hal yang membuat masyarakat susah untuk membeli rumah, selain cicilan KPR.
Relaksasi atau pelonggaran LTV berdasarkan targeted dipercaya bisa mendorong pertumbuhan kredit properti. Sebelumnya BI pernah mengetatkan LTV properti pada tahun 2012 menjadi 70%. Kemudian, LTV dilonggarkan pada tahun 2015 dan 2016. (eds/ara)