Meikarta sendiri merupakan proyek milik anak usaha LPKR yakni PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK). Tahun ini perusahaan menargetkan bisa membangun 18 tower dari total 92 tower yang akan dibangun.
Menurut Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee hal itu menimbulkan pertanyaan bagi pelaku pasar. Bagaimana perusahaan memperoleh dana untuk memenuhi kebutuhan dana untuk membangun 18 tower tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Besarnya kebutuhan dana untuk proyek Meikarta dipandang Hans tidak sejalan dengan prospek bisnis Meikarta ke depannya. Sebab dengan harga apartemen mulai dari Rp 127 juta dianggap terlalu murah.
Baca juga: Moody's Turunkan Peringkat Lippo Karawaci |
"Waktu awal harga jualnya terlalu murah, margin tipis. Mungkin ingin agar laku diawal baru ambil keuntungan di akhir. Tapi ini kan ada yang harus di-delivery 18 tower," tuturnya.
Sebelumnya pada 1 Juni 2018, Moody's Investors Services telah menurunkan peringkat obligasi senior atau senior note yang diterbitkan anak usahanya Theta Capital Pte Ltd sebesar US$ 75 juta atau setara Rp 1,04 triliun (kurs Rp 13.900) dari B1 ke B2.
Penurutan peringkat obligasi senior itu seiring dengan penurunan rating perusahaan LPKR dari B1 menjadi B2 dengan outlook negatif.
Riset Moody's juga mencatat pada 31 Maret 2018, 79% total utang Lippo Karawaci tidak dijamin. Mayoritas pinjaman Lippo Karawaci berada di perusahaan induk.
Melansir data RTI, saat ini total liabilitas LPKR mencapai Rp 27,71 triliyn dengan ekuitas Rp 29,93 triliun. Dengan catatan itu maka Debt Equity Ratio (DER) perusahaan di level 0,92 kali. Hans menilai rasio utang tersebut masih dalam batas aman.
"Tapi mungkin yang dicatat Moody's hanya utang yang terlihat di buku tapi ini ada kewajiban delivery (pembangunan 18 tower Meikarta)," tegasnya.
(ang/ang)