Menimbang Peluang WNA Miliki Properti di RI Lewat Omnibus Law

Menimbang Peluang WNA Miliki Properti di RI Lewat Omnibus Law

Tim detikcom - detikFinance
Selasa, 28 Jul 2020 23:09 WIB
PT. Adhi Persada Properti dalam pameran IPEX 2020 yang berlangsung di JCC, Jakarta,  banyak menyajikan hunian vertikal.
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Ketua Kebijakan Publik APINDO, yang juga Managing Director Institute of Developing Economies & Entrepreneurship (IDEE), Sutrisno Iwantono mengatakan salah satu isu dalam omnibus law yang sedang digodok adalah rencana pemerintah mengizinkan warga negara asing (WNA) untuk memiliki properti.

Lalu, bagaimana tanggapan terhadap isu yang dibahas tersebut?

Iya isu ini memang sudah lama diwacanakan. Sebenarnya di negara lain juga sudah dilaksanakan tentang cara pemilikan seperti ini. Menurut saya itu bisa mendongkrak industri properti yang terpuruk beberapa tahun terakhir ini, apalagi di tengah pandemi ini terjadi keterpurukan yang serius. Sebenarnya property itu kan nggak ada barang yang nantinya bisa dibawa keluar negeri, beli apartemen misalnya barangnya tetap disini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi kalau orang asing bisa beli artinya mereka bawa duit ke sini, ini bisa melonggarkan tekanan devisa kita serta kekeringan likuiditas di masyarakat. Karena itu prosedur dan administrasi pembelian oleh orang asing ini perlu diperlancar, misalnya tidak harus memiliki KITAS, cukup hanya visa multi entry untuk waktu 3 sampai 5 tahun. Status kepemilikan tidak perlu dibedakan dengan WNI serta jangka waktu kepemilikan juga jangan terlalu pendek, di negara lain sampai 90 tahun, walaupun pemberiannya bisa dilakukan secara bertahap.

Bagaimana sebenarnya kondisi industri properti saat ini?

Permintaan pada properti mengalami penurunan yang nyata. Untuk properti komersial Index Permintaan Property Komersial turun dari 0,52% triwulan IV 2019 menjadi 0,41% pada triwulan I 2020, untuk triwulan II lebih parah lagi walaupun angkanya kita belum punya. Sektor-sektor lain sisi demand memang mengalami gangguan, seperti perhotelan yang sangat terpuruk dengan tingkat hunian sekitar 10-30%, sehingga tidak memungkinkan mereka membangun hotel baru.

ADVERTISEMENT

Demikian juga untuk perkantoran. Pertumbuhan tahunan indeks supply sektor perkantoran di Indonesia pada kuartal I tahun 2020 mengalami penurunan dari kuartal IV tahun 2019, yakni dari 0,10% menjadi 0,04% (q to q). Sedangkan indeks demand sektor perkantoran di Indonesia selama kuartal I tahun 2020 mengalami penurunan dibandingkan dari kuartal IV tahun 2019, yakni turun dari 1,26% menjadi 0,94%.

Untuk segmen apartemen, banyak pekerjaan yang hilang dan banyak orang yang tidak mampu membayar sewa rumah atau KPR. Pembelian masih ada tetapi pembeliannya terus menurun. Sedangkan untuk sektor retail, yang parah lagi, mall masih tutup kalau buka juga sangat terbatas, sehingga pembangunan mall baru tidak ada dan orang lebih banyak sewa daripada bangun baru. Sektor perumahan sama saja, orang menghentikan pembelian rumah saat ini.

Apa usulan untuk menolong industri properti?

Begini ya, industri properti merupakan sector yang penting dalam penerapan tenaga kerja menurut kajian dari Apindo, Kadin dan Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) bahwa tenaga kerja langsung maupun tidak langsung pada sektor properti sebanyak 30,34 juta pekerja. Dari jumlah tersebut, terdapat sekitar 11,17 juta tenaga kerja pada 175 industri turunan properti.

Sedangkan untuk total tenaga kerja di sektor properti mencapai 19,16 juta yang terdiri atas 44.738 pekerja di perusahaan terbuka, pengembang hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan non-terbuka sebanyak 18,79 juta tenaga kerja, serta pengembang MBR sebanyak 327.625 tenaga kerja. Apabila industri properti jatuh dalam krisis, maka sebagian hingga seluruh pekerja tersebut akan terancam terganggu penghasilannya hingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).

Untuk itulah yang saya pahami dari keluhan teman-teman di industry ini, ada sejumlah usulan yang disampaikan antara lain: restrukturisasi kredit, keringanan cicilan dan bunga, perpajakan seperti PPh 21,penurunan PPh Final jual tanah 2,5 persen menjadi 1 persen berdasarkan nilai aktual transaksi, bukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Biaya Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) selain mahal juga mesti validasi rumit sehingga mengurungkan niat beli, PBB jangan dulu dinaikkan.

Kemudian juga perjanjian jual beli (PPJB) harusnya jangan dulu pake Notaris karena biayanya mahal. Beban listrik dengan abonemen minimal, harusnya sesuai pemakaian saja. Kemudian penyederhanaan perizinan seperti Persetujuan Bangunan Gedung (PBG); dan Sertipikat laik Pakai (SLF), termasuk aturan tata ruang. Hal-hal ini selayaknya dilonggarkan agar industry ini bisa menggeliat, dan tidak luluh. Kita berharap dalam pembahasan Omnibus Law yang saat ini sedang dilakukan antara pemerintah dan DPR hal-hal ini kiranya mendapat perhatian.




(hns/hns)

Hide Ads