Bank Indonesia (BI) memberikan relaksasi untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dalam bentuk pelonggaran rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) KPR menjadi paling tinggi 100%. Itu berlaku mulai Maret 2021.
Dengan demikian, pembelian rumah dan properti lainnya akan mendapatkan pembebasan uang muka alias down payment atau DP 0% yang berlaku sampai 31 Desember 2021.
CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengungkap kebijakan tersebut diperkirakan belum mampu sepenuhnya mengangkat sektor properti. Ada beberapa alasan yang mendasarinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kondisi normal dan daya beli masyarakat di semua golongan masih cukup terjaga, kebijakan DP 0% bakal sangat membantu meningkatkan minat masyarakat untuk membeli properti.
Namun, di tengah kondisi saat ini, dia menekankan bahwa minat saja tidak cukup. Itu harus diimbangi dengan daya beli. Sementara saat ini diketahui daya beli masyarakat sangat terganggu. Sebagian besar golongan masyarakat menengah-bawah lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan lain.
Sementara golongan masyarakat yang memiliki potensi besar untuk membeli properti saat ini dapat dikatakan tertumpu pada golongan masyarakat menengah-atas. Pada golongan tersebut, besaran uang muka dirasa tidak menjadi isu terpenting dalam membeli properti. Sebab, berdasarkan daya beli seharusnya mereka masih sanggup untuk membayar uang muka. Selain itu, saat ini sudah mulai banyak pengembang yang melakukan strategi penjualan properti dengan DP 0%.
"Kalau untuk uang muka saat ini sebenarnya sudah dimungkinkan tanpa uang muka, meskipun tidak semua bank mau menerapkannya. Selain itu juga sudah banyak konsumen properti yang bisa membeli tanpa uang muka dengan strategi harga yang dilakukan pengembang," kata dia dikutip detikcom, Jumat (19/2/2021).
Lebih lanjut, dia mengatakan meskipun masyarakat dapat membeli tanpa uang muka, namun mereka juga harus membayar biaya-biaya pajak dan lainnya yang masih cukup besar.
"Mereka kan harus juga mengeluarkan biaya-biaya pajak PPN 10%, BPHTB 5%, dan lainnya sampai mencapai 22-23%. Ini yang harus juga dipertimbangkan pemerintah untuk dapat dikurangi saat kondisi pendemi seperti saat ini untuk menarik minat golongan menengah-atas untuk membeli properti," jelasnya.
Lebih lanjut, Ali menjelaskan saat ini daya beli masyarakat menengah-atas relatif masih cukup baik meskipun terganggu. Sebagian masih menyimpan uangnya di bank dan menunda pembeli properti.
Berdasarkan analisis yang dilakukan Indonesia Property Watch, penjualan properti yang masih mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2019 berada di segmen harga Rp 500-Rp 2 miliar, sedangkan di segmen lebih dari Rp 2 miliar meskipun mengalami penurunan namun bukan berarti tidak memiliki daya beli. Sebagian besar menunda pembeli properti.
Jika hanya mengandalkan kebijakan DP 0%, tidak akan terlalu menarik bagi mereka membeli properti. Sebab, nilai transaksi propertinya tetap tidak berubah dan hanya kemudahan pembayaran.
Lain cerita bila insentif yang diberikan terkait pengurangan pajak BPHTB dari saat ini 5% menjadi 2,5% seperti yang diusulkan IPW, atau bahkan ditambah pengurangan PPN 10% yang diusulkan Real Estat Indonesia (REI).
Dengan adanya pengurangan biaya itu, konsumen properti diyakini bakal lebih tertarik untuk menyimpan uangnya di properti karena secara nilai transaksi lebih rendah dari kondisi normal.
Dia mengatakan pengurangan pajak tersebut tidak harus diberlakukan selamanya jika memang pemerintah keberatan. Namun, setidaknya dalam 1 tahun ke depan, strategi relaksasi ini bisa membuat pasar properti tetap meningkat meski sedang pandemi.
Pihaknya memperkirakan adanya gabungan kebijakan LTV/FTV atau aturan DP KPR, penurunan suku bunga, dan pengurangan biaya-biaya pajak dan BPHTB dapat mendorong secara signifikan perilaku konsumen untuk membeli properti.
(toy/dna)