6 Catatan buat Pemerintah Menyoal Kenaikan PPN Tahun Depan

6 Catatan buat Pemerintah Menyoal Kenaikan PPN Tahun Depan

Trio Hamdani - detikFinance
Kamis, 07 Okt 2021 07:00 WIB
Petugas Cash Center BNI menyusun tumpukan uang rupiah untuk didistribusikan ke berbagai bank di seluruh Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang tunai jelang Natal dan Tahun Baru. Kepala Kantor perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Papua mengungkapkan jumlah transaksi penarikan uang tunai sudah mulai meningkat dibanding bulan sebelumnya yang bisa mencapai penarikan sekitar Rp1 triliun. Sedangkan untuk Natal dan tahun baru ini secara khusus mereka menyiapkan Rp3 triliun walaupun sempat diprediksi kebutuhannya menyentuh sekitar Rp3,5 triliun. (FOTO: Rachman Haryanto/detikcom)
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan pemerintah membutuhkan pemasukan sekitar Rp 600-700 triliun, untuk menekan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali ke 3% dari PDB pada 2023.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menilai hal itu yang mendasari pemerintah ingin menggolkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) dalam waktu dekat.

"Target defisit 3% pada tahun 2023 itu kurang lebih mungkin sekitar kita membutuhkan Rp 600-700 triliun pada 2023, maka tanpa ada kenaikan sumber penerimaan negara khususnya pajak itu sangat sulit target defisit tersebut dicapai," katanya dalam webinar, Rabu (6/10/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Diragukan Bisa Perbaiki Defisit

Pihaknya tidak begitu yakin kenaikan PPN bisa menekan defisit APBN. Hal itu didasari dua hal. Pertama, perbaikan defisit APBN akan sangat tergantung bagaimana sektor-sektor di penerimaan negara, khususnya perpajakan seperti industri manufaktur dan perdagangan bisa cepat pulih.

ADVERTISEMENT

Kemudian yang kedua adalah dari sisi pengeluaran, terutama konsumsi masih relatif rendah dibandingkan pertumbuhan belanja/investasi pemerintah, ekspor-impor sehingga sumber PPN yang basisnya konsumsi jauh lebih lambat dibandingkan perkiraan semula.

Selanjutnya, ambang batas (threshold) pengusaha kena pajak (PKP) dinilai terlalu tinggi. Hal itu yang menyebabkan penerima pajak tidak optimal. Dalam hal ini, ambang batas PKP yang berlaku sekarang adalah Rp 4,8 miliar. Perusahaan yang omzetnya Rp 4,8 miliar per tahun dikenakan tarif final 0,5%. Sedangkan yang di atas PKP dikenakan tarif 10%.

Kebijakan tersebut menurut Tauhid dijadikan celah oleh pengusaha yang omzetnya di atas Rp 4,8 miliar, diupayakan sedemikian rupa agar omzetnya berada di dalam ambang batas.

"Nah ini yang seringkali disebut loophole kebijakan karena pengusaha besar bisa saja mengubah identitas perusahaan dan sebagainya, atau laporannya bisa memiliki banyak usaha yang sebenarnya punya keterkaitan antara satu usaha dengan lainnya dalam rangka menghindari perpajakan dengan melihat batas threshold sebesar Rp 4,8 miliar," tuturnya.

"Jadi ini menarik apakah memang dengan kenaikan tarif (pajak) justru meningkatkan produktivitas dari PPN? ternyata juga tidak menentukan," sambung Tauhid.

2. Berpotensi Jadi Pasal Karet

Tauhid menyebut ada bagian yang berpotensi menjadi pasal karet, di mana dalam Bab IV pasal 7 ayat (3) disebutkan bahwa PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

"Sekarang tetap single tariff, paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Artinya bahwa bersifat single tarif dan dapat berubah sewaktu-waktu. Nah ini saya kira menjadi uncertainty-nya (ketidakpercayaan) tinggi, menimbulkan ketidakpastian bagi konsumen karena dengan pasal ini tentu saja menjadi sesuatu yang tidak pasti," katanya.

Di sisi lain, pasal 7 ayat (1)a menjelaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 11% akan diberlakukan mulai 1 April 2022. Kemudian pada 2025 tepatnya 1 Januari, di pasal 7 ayat (1)b tertulis bahwa PPN akan menjadi sebesar 12%.

"Misalnya (PPN) tahun depan naik, dengan pasal ini diputuskan dengan pembicaraan sebelum APBN ini maka bisa saja naik menjadi 12%, 13% dan paling tinggi 15%. Jadi kalau kita mengenai pasal ini, ini pasal karet yang cukup berbahaya bagi siapapun," tuturnya.

Lanjut Tauhid, dalam RUU tersebut memang memungkinkan PPN turun ke 5%. Namun, melihat pengalaman negara-negara lain, khusus negara maju tidak ada ceritanya tarif PPN turun.

3. Khawatir Pemerintah Sewenang-wenang

Dari RUU yang dia pelajari, dia berpendapat tarif PPN 5% sampai 15% bisa diubah pemerintah tanpa 'ruang publik' atau dengan kata lain tidak terbuka.

"Dengan disahkannya RUU ini otomatis tidak ada ruang publik lagi ketika suatu saat (tarif PPN) meningkat. Jadi dengan sahnya (RUU HPP) ini, otomatis pasal ini sah dan tidak ada ruang bagi publik untuk dibahas lebih luas karena ini undang-undang ini sudah mengikat, dan tidak perlu ada undang-undang baru. Ini yang saya kira menjadi titik kritis," lanjut Tauhid.

Menurut keterangannya, nantinya perubahan tarif PPN cukup dipayungi dengan peraturan pemerintah (PP) setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam penyusunan RAPBN.

"Ini kan cukup mengkhawatirkan dalam bentuk PP. PP tidak cukup untuk membahas kenaikan tarif PPN karena ada ruang publik yang harus dibuka dan sebagainya, tidak cukup pemerintah, tapi perlu didengarkan melalui forum parlementer," ujarnya.

4. Kontraproduktif Buat Pemulihan Ekonomi

Dia juga menyebut kenaikan PPN 11% tahun depan kontraproduktif terhadap upaya pemulihan ekonomi karena kebijakan itu justru bisa menjadi penghambat.

"Banyak usaha yang saat ini baru mulai melakukan upaya untuk mendapatkan akses pinjaman dan sebagainya tapi sudah dihantui nanti kenaikan perpajakan menjadi 11%. Ini memang akan ditransmisikan ke konsumen yang akan dibebankan, tapi saya kira memang pada akhirnya dikhawatirkan ini akan menurunkan omzet pelaku usaha," terang Tauhid.

Lalu, ketika PPN dinaikkan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025, berdasarkan perhitungan Indef akan menyebabkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia turun, upah riil turun, hingga ekspor turun.

5. Jadi PR Buat Pemerintahan Baru

Pemerintahan baru di 2024 nanti pun, lanjut dia akan dibebankan warisan kenaikan PPN. Sebagaimana bunyi salah satu pasal di RUU HPP, kenaikan PPN 12% paling lambat berlaku 2025.

"Pemerintahan baru yang akan datang itu akan mempunyai beban, baru mulai memerintah harus melakukan kenaikan PPN sebesar 12%, menjadi berat di saat baru selesai pilpres tapi sudah harus melakukan kenaikan pajak. Ini yang saya kira memang kalau ini dilakukan di akhir 2024, tahun 2025 ini saya kira cukup berat bagi siapapun pemerintahan baru ketika dipaksa menaikkan tarif PPN sebesar 12%," tambah Tauhid.

6. Kenaikan PPN Dinilai Tidak Perlu

Pihaknya menilai dalam rangka pemulihan ekonomi tidak perlu kenaikan tarif PPN. Sebab, masalahnya bukan soal tarif tapi soal basis data. Selain itu perlu dikaji kembali penurunan ambang batas PKP karena ada celah bagi perusahaan memanfaatkan pajak final 0,5%.

Jika melihat basis pajaknya sendiri, sektor industri, perdagangan, dan jasa cukup tinggi. Di sisi lain menurut Indef ada sektor yang kontribusi PDB-nya tinggi tapi sumbangan pajaknya rendah, khususnya di sektor konstruksi. Menurut Tauhid itu perlu ditingkatkan terutama untuk basis pajak.

"Saya kira kalau dari segi data yang lapor PPN itu jauh lebih rendah dibandingkan populasi atau konsumsi. Artinya konsumsi kita tinggi, 58% PDB, tapi pelaporan PPN melalui dunia usaha yang mungkin relatif lebih kecil. Nah ini ada loophole dari sisi ini yang saya kira penting," lanjutnya.

Terakhir dia menilai digitalisasi PPN menjadi agenda utama untuk peningkatan produktivitas PPN. Dia berpendapat produktivitas PPN di Indonesia dibandingkan negara tetangga memang tidak buruk, tapi masih lebih rendah dibandingkan Thailand dan Vietnam.



Simak Video "Video: Ada 10 Ribu Lebih Tanda Tangan di Petisi Tolak PPN 12%"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads