Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) membeberkan awal mula masalah atau sengketa lahan Hotel Sultan yang menjadi rebutan negara dan Pontjo Sutowo.
Direktur Utama PPKGBK Rakhmadi A Kusumo mengungkapkan tanah Eks HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora atas nama Indobuildco telah berakhir 3 Maret dan 3 April tahun ini.
"Dengan berakhirnya atau habis masa berlakunya, maka bidang tanah tersebut jadi hak pengelolaan Kemensetneg," katanya, dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Kamis (25/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kesempatan yang sama Kuasa Hukum PPKGBK dari Assegar Hamzah and Partner, Chandra Hamzah menjelaskan, sebagai pihak yang memiliki aset dan sudah tercatat sebagai barang milik negara (BMN), Kemensetneg mengajukan permohonan intervensi ke PTUN demi mempertahankan hak pengelolaannya sebagaimana amanat Undang-Undang (UU).
"Kemudian PPKGBK selaku BLU dari Kemensetneg juga mengajukan dan menunjuk kami untuk mengajukan permohonan intervensi. Hamdalah pengadilan mengabulkan permohonan kami pada tanggal 8 Mei," ujar dia.
Setelah diterima, Kemensetneg dan GBK mengajukan eksepsi dan jawaban pada tanggal 22 Mei. Dalam momentum tersebut, pihaknya memberikan penjelasan menyangkut sejarahnya dan riwayat kasus tersebut. Awalnya, pembebasan lahan Senayan 2,5 juta m2 dilakukan pada era Bung Karno, saat mempersiapkan Asia games ke 4 tahun 1958. Pada lahan tersebutlah tempat Hotel Sultan berdiri.
Kemudian setelah Asian Games selesai, diserahkan kepada Yayasan Gelanggang Olah Raga Bung Karno dan dikelola hingga saat ini. Namun pada 1971, Indobuildco mengajukan permohonan izin untuk membangun hotel di tanah tersebut kepada Gubernur Jakarta, yang pada saat itu dijabat oleh Ali Sadikin.
"Diizinkan bangun hotel tapi bayar royalti. Atas izin itulah yang kemudian diterbitkan HGB Indobuildco di Maret 1973. Mohon bangun hotel, mohon gunakan tanah asalkan bangun royalti.Dan bangunlah hotel. Nah karena ada HGB, HGB itu berakhir kemarin setelah 50 tahun kemudian, 3 Maret dan 3 April 2023," tambahnya.
Namun sebelumnya, pada 1970 dan 1977 GBK mengajukan permohonan sertifikasi atas tanah-tanah tersebut. Dua kali mengajukan, barulah pada 1989 sertifikat hak pengelolaan atas tanah (HPL) terbit. Adapun HPL sendiri hanya diberikan kepada BUMN maupun K/L institusi negara sebagai perwujudan penguasaan tanah negara.
"Dalam diktum keenam (UU Agraria) disebutkan bahwa tanah-tanah HGB dan hak pakai yang haknya belum berakhir, maka akan masuk dalam HPL pada saat hak gunanya berakhir," kata Chandra.
"Jadi begitu berakhir (HGB Hotel Sultan), maka jadi bagian HPL-nya Setneg PPKGBK. Jadi begitu habis, maka tanah itu otomatis jadi bagian HPL," tambahnya.
Chandra melanjutkan, Indobuildco sendiri telah menggugat HPL tersebut pada 2006 dalam perkara perdata, dari mulai ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, bahkan Pengajuan Kembali (PK) sebanyak 4 kali.
Dari sana, lahir dua keputusan, HPL No 1 sah dan Indobuildco diwajibkan membayar royalti. Perusahaan pun sudah menjalankan hasil keputusan tersebut, bahkan berita acaranya telah ditandatangani pontjo Sutowo sendiri.
"Di sini diakui hak bayar, semua putusan pengadilan sah diakui, kemudian ada saksinya. Ini dibuat 8 Desember 2016 dokumen ini. Makanya jadi pertanyaan kenapa sekarang digugat lagi HPL 1? dulu pernah digugat, PN, banding, kasasi, PK 4 kali, sah dan dilaksanakan kesepakatan bersama, sukarela, bayar royalti pula. Uangnya sudah masuk. Nah sekarang pertanyaannya kenapa digugat lagi?," jelasnya.
Tonton juga Video: Azmi Abubakar: Ada 'Darah' Tionghoa dalam Diri Saya