"BI sengaja memberikan hambatan, agar pembangunan rumah lebih banyak untuk kecil dan menengah," ungkap Asisten Deputi Gubernur BI Mulya Siregar dalam seminar prospek pembiayaan properti di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Kamis (28/11/2013)
Menurutnya, dalam aturan BI tidak ada larangan penuh untuk penggunaan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR). Namun, aturan hanya ditujukan untuk mengatur besaran uang muka KPR rumah tipe besar dan mewah (di atas 70 m2) dan larangan inden kredit perumahan rakyat (KPR) untuk rumah kedua dan ketiga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya apabila pengembang properti bermain pada rumah kecil dan menengah, sebenarnya keuntungan yang di dapat tidak berbeda jauh. Karena secara volume, rumah kelas ini masih sangat dibutuhkan.
"Mereka (developer) perlu kesadaran jangan mengejar margin yang tinggi saja. Tapi margin yang kecil tapi volume yang besar itu kan lebih baik juga. Jadi perhatikan rumah yang kecil," paparnya.
BI mencatat pada tahun 2013, pertumbuhan KPR masih sangat tinggi. Dalam temuan di sistem informasi debitur (SID) 35 ribu debitur memiliki lebih dari 1 fasilitas kredit.
"35 ribu debitur yang memiliki lebih dari 1 fasillitas kredit. Itu kecenderungan untuk rumah mewah dan investasi," kata Mulya.
Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan aturan KPR untuk rumah kedua dan ketiga. Besaran kredit atau loan to value (LTV) untuk KPR rumah kedua dan rumah ketiga saat ini dibatasi. Lewat aturan ini, berarti uang muka atau down payment (DP) untuk KPR rumah kedua dan ketiga makin mahal.
Aturan ini berlaku sejak 30 September 2013, dan berlaku untuk bank konvensional, bank syariah, dan unit usaha syariah.
Aturan tertuang dalam surat edaran BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 tentang penerapan manajemen risiko pada bank yang melakukan pemberian kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor. Di mana sekaligus mencabut aturan sebelumnya Surat Edaran No 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012.
(mkl/hen)