Curi Start, Jepang Ajukan Proposal Kereta Cepat Rp 80 Triliun

Curi Start, Jepang Ajukan Proposal Kereta Cepat Rp 80 Triliun

- detikFinance
Selasa, 21 Apr 2015 18:42 WIB
Shinkansen di Stasiun Tokyo (Foto: Angga/detikFinance)
Jakarta - Dua negara Asia Timur, Jepang dan China berebut hak menggarap proyek kereta cepat pertama di Indonesia dengan rute Jakarta-Surabaya. Saat ini proses yang berlangsung adalah menunggu hasil kajian pembangunan fasilitas kereta cepat Jakarta-Surabaya dari pihak China.

Dari hasil kajian ini akan disampaikan proporsal penawaran yang nantinya akan diadu dengan proposal penawaran yang sudah lebih dahulu diajukan pihak Jepang.‎

Deputi Sarana Prasarana Kemententerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional‎ Dedy S Priyatna mengatakan, China harus bisa memberikan penawaran yang lebih menarik dari yang ditawarkan Jepang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalo Jepang tawarkan harga semuanya US$ 6,2 miliar (Rp 80 triliun). Konstruksi (rel dan stasiun) US$ 4,3 miliar, sisanya untuk pengadaan kereta, DED dan lainnya," sebut dia saat ditemui di Kantor Pusat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jakarta, Selasa (21/4/2015).

Pihak Jepang bahkan telah menawarkan skema kerjasama antara investor dengan pihak pemerintah Indonesia termasuk skema pembagian porsi pembiayaannya.

"Jepang menawarkan 10% swasta, 74% pembiayaan dari BUMN Khusus yang dibentuk untuk proyek ini dan pemerintah berkontribusi 16%. Masih ada kontribusi pemerintah di situ. Itu penawaran Jepang," tutur dia.

Sementara bila pihak China ingin memenangkan hak menggarap proyek ini maka harus bisa memberikan penawaran yang lebih menarik dari yang ditawarkan Jepang tersebut.‎

"Bagaimana cara China dipilih untuk kalahkan Jepang? Kalau bisa pemerintah 0% kontribusinya, kalau bisa. Apalagi? Swasta kalau bisa 100%. Begitu saja dulu penuhi bisa tidak dia?" Sebutnya.

Namun demikian, perlu diperhatikan pula faktor lainnya seperti kualitas dan ketepatan waktu pengerjaan. Kereta cepat Jepang yang dikenal dengan nama Sinkanzen telah terbukti keandalannya di negara asalnya.

"Kalau China jangan ditanya," sebut dia.

Pertimbangan ini kata dia, harus menjadi bahan pemikiran dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingat keputusan akhir atas proyek ini sangat bergantung pada hasil penilaian orang nomor satu di tanah air ini.

"Semua tergantung Pak Jokowi. Tapi pertimbangannya seperti itu. Tapi itu pertimbangan dari kami. Kalau harga murah tapi risiko kelayakannya kurang mungkin China tidak dimenangkan. Kalau bisa murah dan laya, bisa juga dimenangkan," pungkas dia.

(dna/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads