Ekonomi Melambat? Pengusaha: Lihat Saja Tanah Abang

Ekonomi Melambat? Pengusaha: Lihat Saja Tanah Abang

Muhammad Idris - detikFinance
Rabu, 03 Mei 2017 21:08 WIB
Foto: Fadhly Fauzi Rachman/detikFinance
Jakarta - Ekonomi Indonesia pada tahun 2016 lalu tumbuh 5,02%, angka tersebut merupakan yang tertinggi ketiga di antara negara-negara G20 setelah India dan China. Namun demikian, tingginya pertumbuhan PDB tersebut tak seirama dengan daya beli masyarakat.

Rendahnya kemampuan daya beli ini membuat kalangan pelaku usaha risau, tak terkecuali pengusaha ritel.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta, berujar daya beli masyarakat yang rendah tersebut cukup memukul pelaku usaha ritel.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau masalah daya beli turun, lihat saja di Tanah Abang sepi. Seharusnya jelang Lebaran Idul Fitri itu ramai sekali, karena persiapannya kan 3 bulan sebelum, harusnya sudah naik, ternyata tidak. Bahwa ternyata aktivitas (belanja) masyarakat tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya," kata Tutum di Hotel Ibis, Sawah Besar, Jakarta, Rabu (3/5/2017).

Diungkapkannya, industri ritel yang sehat paling tidak bisa tumbuh di atas 10%. Namun tahun ini pihaknya memperkirakan pertumbuhan ritel hanya sekitar 7-8%.

"Tumbuh tapi tidak yang seperti kita harapkan, kita sehat kalau tumbuh di atas 10%, sekarang di bawah 10%. Tahun ini belum dikumpulkan datanya, tapi kalau bisa 7-8% saja itu sudah hebat, tahun lalu 8%," jelas Tutum.

Selain itu, masuknya produk tekstil, terutama pakaian jadi impor, juga membuat ritel kurang bergairah. Ini karena pengusaha ritel resmi umumnya mendapatkan pasokan dari pabrik tekstil dalam negeri.

"Perpres DNI (Daftar Negatif Investasi) yang baru kan menyatakan bahwa toko dengan luas 400 meter ke atas bisa jual buat brand asing, kalau mereka jual produk luar negeri bagaimana industri di dalam negeri bisa tumbuh. Karena selama ini kalau kita buka toko, mereka ambil pasar yang sama, kami produk ambil dalam negeri, otomatis hilang," terangnya.

"Banyak orang jadi enggak beli baju baru. Ini kan baru cerita produk tekstil, belum lagi baju bekas," pungkas Tutum.

Data Kementerian Perindustrian, impor produk pakaian jadi tahun 2016 tercatat sebesar US$ 436,33 juta, atau naik 4,39% dibandingkan tahun 2015 yakni US$ 421,61 juta. Untuk impor pakaian jadi di periode Januari-Februari 2017 sebesar US$ 77,53 juta atau naik 2,39% dibandingkan periode yang sama tahun 2016 sebesar US$ 75,72 juta. (idr/dna)

Hide Ads