Komisi XI DPR Minta Masukan Rizal Ramli Untuk Pilih Calon Bos OJK

Komisi XI DPR Minta Masukan Rizal Ramli Untuk Pilih Calon Bos OJK

Danang Sugianto - detikFinance
Rabu, 31 Mei 2017 11:20 WIB
Foto: Tim Infografis, Andhika Akbarayansyah
Jakarta - Komisi XI DPR RI kembali menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk meminta masukkan terkait pemilihan calon dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kali ini Komisi XI DPR mengundang para ekonom untuk dimintai masukannya.

Rapat ini dijadwalkan dimulai pada pukul 10.00 WIB, namun baru buka pada pukul 10.45 WIB. Rapat ini dihadiri oleh 11 anggota Komisi XI termasuk Ketua Komisi XI DPR RI, Melchias Markus Mekeng, dan Wakil Ketua Komisi XI, Marwan Cik Hasan.

"Kami, Komisi XI ingin meminta masukan dari Bapak Ibu terkait pemilihan Dewan Komisioner OJK. Masukan ini bisa menjadi pelajaran kami," kata Marwan selaku pimpinan RDPU di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (30/5/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara pakar ekonomi yang hadir dalam rapat kali ini diantaranya Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli, Ekonom INDEF Enny Sri Hartati, dan Ekonom dari Asosiasi Peneliti Ekonomi Politik Indonesdia Salamuddin Daeng.

Sekadar informasi, saat ini Panitia Seleksi pemilihan Dewan Komisioner OJK telah menyerahkan 14 nama calon ke Komisi XI. Sebelum dilakukan fit and proper test, Komisi XI menggelar rapat marathon untuk mendengar masukan dari berbagai pihak.

Rizal Ramli mengatakan, OJK memang menarik perhatian banyak orang. Sebab OJK kini menjadi lembaga dianggap paling super power.

Dia bercerita, awal mula ide pembentukan OJK muncul sebelum krisis ekonomi 1998. Saat itu belum ada pihak yang melakukan pembatasan yang tegas terhadap aksi konglomerasi di lembaga keuangan.

Bank Indonesia (BI) yang menjadi satu-satunya lembaga pengawas industri keuangan tidak bisa melakukan audit untuk menelusuri aset-aset busuk di perbankan. Sebab sebelum diaudit, pemilik bank memindahkan asetnya ke perusahaan jasa keuangan lainnya seperti asuransi.

"Nanti setelah BI selesai audit, baru dikembalikan asetnya. Jadi, laporan keuangannya rapi saat diaudit BI. Jadi, dari segi regulator, BI saat itu tidak bisa melihat risiko yang ada di lembaga seperti itu. Kalau ada dana nasabah sekitar 70% digunakan untuk konglomerasi modal perusahaannya," tutur Rizal.

Hal itu juga menjadi salah satu pemicu terjadinya krisis moneter di 1998. Akhirnya, kata Rizal, saat itu diputuskan untuk membahas pembentukan OJK.

Menurut Rizal saat itu pembentukan OJK dibahas hanya untuk mengatur industri perbankan, non perbankan dan asuransi. Namun pada saat dibentuk 2013 dan mulai beroperasi 2014, OJK tenyata juga membawahi industri pasar modal.

"Saat itu OJK hanya menjadi lembaga yang menangani perbankan, non-perbankan, dan asuransi. Tapi sekarang, pasar modal juga di bawah OJK, ini jadi lembaga yang super power, lebih super dari pada BI. Bankir mereka lebih segan kepada OJK," tukasnya.

Oleh karena itu, Rizal menyarankan agar dipertimbangkan kembali terkait kewenangan OJK membawahi pasar modal. (wdl/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads