Namun, penyederhanaan nominal rupiah perlu mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain laju inflasi yang rendah, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjaga, hingga pertumbuhan serta kestabilan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi dari 5%. Kondisi ekonomi yang rapuh seperti sekarang sulit untuk redenominasi.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik di Universitas Gadjah Mada A Tony Prasetiantono menilai rencana pemerintah tersebut perlu ditinjau ulang. Pasalnya, syarat inflasi yang rendah saja tidak cukup untuk menyederhanakan nominal rupiah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tony mengatakan, masih ada hal lain yang harus diperhatikan untuk melakukan redenominasi, yaitu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ia menilai masih ada ancaman pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS karena masih belum jelasnya kebijakan Presiden AS Donald Trump ke depan.
"Ke depan masih menghadapi Trump berat juga, kalau proteksionistik jangan-jangan rupiah gonjang-ganjing lagi," tambah Tony.
Di sisi lain, cadangan devisa sebesar US$ 123 miliar juga dinilai belum cukup untuk menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan mata uang lainnya. Dibutuhkan sekitar US$ 150 miliar cadangan devisa untuk membuat rupiah stabil dalam jangka waktu yang lama.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih berada pada kisaran 5% juga belum cukup, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus berada di kisaran 6-6,5% untuk memuluskan langkah redenominasi.
"Belum lagi bicara yang lain misalnya pertumbuhan ekonomi kita sekarang cuma 5% tidak cukup nyaman enggak pede kita menurut saya. Pantasnya Indonesia tumbuh 6% minimal ya 6,5%," tutur Tony.
Penyederhanaan nominal rupiah pun tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Dibutuhkan masa transisi hingga 7 tahun untuk membuat masyarakat terbiasa akan kehadiran rupiah dengan nominal yang lebih sederhana.
"Perlu tahap-tahap seperti pengalaman Eropa menyatukan mata uang," ujar Tony.
![]() |