Dunia pasar modal berharap pemerintah menetapkan kenaikan penerimaan pajak tersebut dengan bijak. Sebab dikhawatirkan jika penerimaan pajak dibebankan ke sektor korporasi akan menekan laju kinerja keuangan dari para emiten di pasar modal.
"Sumber penerimaan itu yang harus jelas dari mana. Kalau ujung-ujungnya korporasi yang digenjot, pasti protes. Korporasi sedang bertahan," kata Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada kepada detikFinance, Rabu (16/8/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rincian dari target penerimaan pajak berasal dari pajak penghasilan (PPh) Rp 852,9 triliun, meliputi PPh non migas Rp 816,9 triliun dan PPh migas Rp 35,9 triliun.
Kemudian pajak pertambahan nilai (PPN) ditargetkan Rp 535,3 triliun, pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp 17,3 triliun dan pajak lainnya Rp 9,6 triliun.
Di sisi lain, pemerintah mematok target penerimaan bea cukai yang juga tidak rendah. Bea masuk ditargetkan Rp 35,7 triliun dan bea keluar sebesar Rp 3 triliun, serta cukai yang sebesar Rp 155,4 triliun.
Berbeda dengan Reza, Kepala Riset Reliance Sekuritas Robertus Yanuar Hardy kenaikan target penerimaan pajak tersebut masih masuk akal. Dia yakin pemerintah menetapkannya dengan mempertimbangkan asumsi pertumbuhan dunia usaha.
"Seharusnya tidak. Karena kalau diasumsikan kenaikan laba korporasi mencapai 9-10% di tahun depan, maka pembayaran pajak juga akan naik dengan tingkat pertumbuhan yang sama," tukasnya. (mkj/mkj)











































